Sendhakep

Written By BAGUS herwindro on Feb 18, 2017 | February 18, 2017

Jujur… saya sering tergoda. Tergoda untuk ingin menggoda. Menggoda syetan agar menggoda saya hingga saya tergoda, agar nantinya segala resiko yang ada saya tumpahkan dengan mempersalahkan si syetan dan dia pasti tak bisa berkutik.

Jujur pula saya suka makan syetan khususnya syetan hitam, sebab di jalan Karangmenjangan Surabaya saya mempunyai langganan penjual jujur kacang ijo dan jujur syetan ireng.

Halah….

Kalau lihat anak kecil, saya ulangi, jujur saya sering tergoda untuk menggodanya. Terlebih anak kecil yang sedang asyik bermain dengan barang permainannya. Mungkin sudah ratusan kali saya menyaksikan reaksi yang sama yang mereka ekspresikan dan dari situlah saya belajar kepada mereka.

Begini ceritanya…

Anak kecil usia balita (bawah lima puluh tahun, he… he.. he… yang ini sih anak besar), untuk bergembira itu gak perlu mainan elektronik yang mahal, tak perlu juga gadget canggih besutan merek ternama, namun cukup dengan apa saja yang ada di dekatnya yang itu menarik baginya, maka barang tersebut sudah menjadi maianan yang menggembirakannya.

Kalau sudah asyik bermain, cobalah Panjenengan goda dengan meminta mainannya dan lihatlah apakah reaksinya juga sama dengan reaksi yang sering saya temui pada mereka. Dalam pengamatan saya, saya niteni bahwa mainan yang sedang dipegangnya dan yang sedang diminta akan segera diamankan dengan gerakan menarik mainan itu ke arah dada, bahkan kalau dia merasa tingkat ancaman untuk merebut mainannya semakin besar, maka mainan tersebut akan didekapnya di dada. Demikiankah yang Panjenengan amati ?

Gerakan itu spontan, naluriah dan di situlah saya menemukan makna, tetapi sekali lagi sebagaimana biasanya hal ini adalah #jareku.

Dada memang istrimewa apalagi dada ayam, halah… jadi makanan. Kaum perempuan pun sekwildanya (sekitar wilayah dada) selalu menarik bagi para lelaki, he… he… he… jadi ngomongin diri sendiri, maulu ah....

Dada itu wilayah terluar dari apa yang diistilahkan sebagai hati, wilayah penyimpanan data-data perasaan yang muncul sebagai reaksi dalam menanggapi suatu aksi yang diterima oleh manusia. Dada kalau dalam terminologi Qur’an diistilahkan shadr, lebih dalam lagi qalb, lebih dalam lagi ada fuad dan kemudian yang terinti lub. Saya yakin Panjenengan lebih memahami dan tentunya sudah mengalami sendiri keempat lapisan kalbu tersebut.
Maka dada merupakan sesuatu yang paling utama dalam kehidupan kita baik secara ragawi karena ada organ jantung di dalam sana dan juga secara ruhani yaitu diri kita yang sejati, spirit dan tentunya tuhan kita, Gusti Allah. Di dadalah tersimpan sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan kita.

Bumi dan langitKU tidak bisa menampungKU, namun hati hambaKU yang beriman bisa menampungKU, begitu firman Allah dalam hadits qudsiy yang saya tahu.

Maka benarlah yang saya temui sebagimana yang saya tuliskan di awal.

Yang berharga selalu didekap di dada dan itu membawa bahagia. Lalu apa yang lebih membahagiakan selain mendekap dan menghadap padaNya di kedalaman dada kita sendiri di bilik terdalam dari jantung kita sendiri ?.

Mendekap di dada, itulah sendhakep kalau dalam bahsa Jawa.

Sendhakep

Bukankah salah satu gerakan shalat juga ada sendhakep-nya, meski ada yang sendhakepnya di perut, di dada atas atu pun di diafragma. Dan rupanya gara-gara niteni itu tadi saya juga menemukan hal baru di sendhakep yang sudah sering saya lakukan tiap harinya.

Saat shalat, saya menghadap siapa, menghadap ke mana dan di mana ?

Saya sering mendapat pertanyaan seperti itu dari mereka yang ingin memahaminya dan pertanyaan itu saya jawab dalam sebuah diskusi pinggir jalan, karena saya sendiri juga masih meraba-raba, yang belum tentu pemahaman saya itu tidak benar he… he… he… Namun sering juga tidak pernah saya jawab, saat yang bertanya hanya sebatas memperbandingkan dengan pendapatnya sendiri dan yang pada akhirnya meyakinkan dirinya sendiri kalau apa yang dia yakini itu sudah benar sedangkan yang lain keliru.

Kalau yang kedua itu, biasanya pertanyaannya sering terlontar dari mereka yang nggetu berhakikat tetapi tanpa mau bersyariat, dalam arti mereka yang sudah merasa sampai ke Gusti Allah dan mengenalNya dengan sebenar-benarnya, seperti sebagian dari para penghayat kebatinan.

Pertanyaan tersebut juga sering terlontar sebagai kontra atau perlawanan yang ditujukan kepada mereka yang merasa sangat bersyariat, namun prilakunya tak menunjukkan hasil sholatnya yang semestinya sudah terjaga dari perbuatan keji dan mungkar.

Kalau menurut saya sih.. pertanyaan kuwi ya benar ya kurang tepat juga. Benar saat tujuannya adalah menggoda saya agar tergoda umtuk memasuki kedalaman diri saya sendiri, menelusuri rasa saya sendiri. Namun kurang tepat juga kalau dilihat dari logika bahasanya.

Tuhan itu dalam perspektif pikiran kan abstrak, sesuatu yang tak nyata, lha kalau pertanyaannya seperti itu berarti semakin mengokohkan ketakadaan Tuhan. Yang meyakini dan paham tentang Tuhan, tentunya tak akan menggunakan tata kalimat seperti itu. Sebab tentang arah, tentang tempat dan tentang waktu, itu kan merujuk pada makhluk. Sedangkan Tuhan kan yang meciptakan makhluk, jadi semestinya tak ada pertanyaan seperti itu. Bagaimana sesuatu yang tak terbatas dapat dipahami dengan logika pikiran yang sangat terbatas. Sehebat-hebatnya pikiran manusia, dia takkan pernah bisa memproduksi agama yang menginformasikian tentang Tuhan, yang mengatur semua aspek kehidupan dan yang menginformasikian tentang kehidupan, kematian dan kehidupan setelah kematian. Nah kalau yang disebut agama tak seperti itu, jangan-jangan itu bukan agama melainkan sekedar filosofi dalam bingkai budaya, sebab pikiran manusia memang hanya sanggup sebatas itu.

Lha di mana sendhakepnya ?

Di sini…

Gusti Allah itu kalau katanya guruku SD dulu ada di mana-mana... lho berarti Gusti Allah itu banyak, begitu pikiran kecilku.

Ketoprak, ludruk, lenong, sendratari atau juga yang lain, perlu sebuah panggung untuk pementasannya. Dalam pementasan itu pun memerlukan durasi waktu tertentu untuk melakonkan skenario ceritanya. Begitulah metrafora makhluk ciptaanNya, yang memerlukan ruang bagi eksistensi semunya dan juga memerlukan waktu untuk menjalani skenario kehidupannya.

Ruang dan waktu adalah makhlukNya juga, lalu bagaimana mungkin DIA memerlukan dan berada di dalam ruang dan waktu ? Ruang dan waktulah yang berada di dalam-Nya. Allahu Akbar, Allah maha besar... tetapi mestinya Allah maha lebih besar dari segala apa pun, mungkin seperti itu.

Jadi kalau Gusti Allah itu ada di mana-mana, sebenanrnya ya begitulah karena apa pun kan selalu berada di dalamNya dan diliputi olehNya, sehingga mestinya saya pun bisa menemukan dan merasakan kehadiranNya di setiap apa pun, sayangnya masih belum.

Kalau Gusti Allah ada di mana-mana, itu berarti juga tidak di mana-mana, karena hakikatnya Gusti Allah tidak memerlukan ruang dan waktu ciptaanNya, sehingga Gusti Allah tidak hadir di dalam ruang dan waktu, namun ruang dan waktulah yang secara nyata terus menerus hadir di dalam DIA.

Mana sendhakepnya ?

Sebentar...

Orang bilang (apa Panjenengan tahu siapa yang bilang ?) ilmu sosial itu ilmu yang tidak pasti, karena obyek yang dipelajari adalah manusia dan prilakunya yang pastinya tidak ada rumusan yang benar-benar baku.

Sebaliknya ada yang disebut ilmu pasti seperti ilmu biologi dan turunannya, ilmu fisika dan turunannya serta ilmu kimia dan turunannya. Disebut ilmu pasti sebab obyek yang dipelajari dapat diformulasikan dalam sebuah rumus yang pasti. Namun bagi yang memperdalam lagi tentang fisika kuantum, maka akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa puncak dari kepastian ilmu itu adalah ketidakpastian, sebab saat memasuki level terkecil dari alam semesta pasti akan bertemu dengan sebuah samudera kemungkinan yang memang tak bisa dipastikan prilakunya.

Dari semua itu, kalau mau membuka pikiran pasti akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa apa pun obyek yang diamati pasti tidak terjadi dengan sendirinya, pasti tidak berjalan dengan sendirinya namun ada suatu kekuatan dan mekanisme yang tak terjangkau dan itu adalah Tuhan.

Belajar apa pun pasti ujung-ujungnya ketemu Tuhan, meski mungkin bagi penganut atheis tidak memakai istilah Tuhan, namun kesimpulannya tetaplah sama, ada sesuatu yang super yang menggerakkan ini semua.

Kesimpulan tentang Tuhan melalui makhluk ciptaanNya yang ditempuh melalui suatu disiplin ilmu adalah pengenalan yang berjarak tentangNya. Mengenal Tuhan melalui makhlukNya. Tuhan masih sebatas ilmu, sebatas informasi, seperti informasi kalau nyala api itu panas, belum mengalami sendiri panasnya api.

Katanya sebentar, mana sendhakepnya ?

Iya ini...

Sebagaimana telah saya tuliskan di atas, bukankah yang bisa menampung Gusti Allah itu hati atau kalbu hambaNya ? Bukankah hati itu sendiri ada empat wilayah mulai terluar hingga terdalam ? Shadr, qalb, fuad dan lub. Semua itu software, yang motherboardnya di wilayah dada dan pusat hardwarenya adalah jantung.

Lha kalau saya ingin memperdalam lagi mengenal Gusti Allah, tidak bisa kalau hanya mengandalkan logika pikiran saja, melainkan harus mulai mengalami Gusti Allah sendiri dan itu #jareku berawal dari menghayati rasa yang bersumber dari dalam dada.

Gusti Allah sendiri menginformasikan bahwa kedekatanNYA dengan manusia lebih dekat dari urat lehernya sendiri [QS. 50:16]. Para leluhur orang Jawa mengungkapkan dalam sebuah ujaran : “cedhak tanpo senggolan, adoh tanpo wangenan”, yang berarti dekat tanpa bersentuhan, jauh tanpa berjarak. Hemm….

Hal itu kan berarti Gusti Allah itu manunggal atau nyawiji, namun tidak mungkin kalau kemanunggalan itu secara wujud, sebab Gusti Allah itu sifatnya “mukhalafatuhu lil hawaditsi” (berbeda dari seluruh makhlukNya), yang orang Jawa bilang “tan kena kinaya ngapa”, tak terumuskan oleh kata dan tergenggam oleh makna. Jadi artinya, kemanunggalan itu dalam rasa, manusia sangat termungkinkan mengalami Gusti Allah melalui rasanya, di dalam dadanya, di lubuk hati terdalamnya.

Apakah bisa seperti itu ? Ya jelas tidak bisalah… lha wong “laa haula wa laa quwata ilaa billah” ~ tak ada upaya dan kekuatan kecuali bersama Allah. Ini kan prinsip tauhid… “laa ilaha ilallah” ~ tak ada selain Allah. Wis.. pokoknya ya Gusti Allah tok.

Lha terus bagaimana donk ? Cukuplah membuka hati, dengan niat meleburkan diri padaNya. Makhluk itu obyek, sedang Tuhan itu subyek. Jadi makhluk itu pasif, kata kerjanya berawalan DI, sedang Tuhan berawalan ME, beres… ringan jadinya. Gusti Allah itu menggerakkan, menjalankan dan mendekatkan sehingga saya bergerak, berjalan dan dekat. Berarti saya digerakkan, sangat ringan bila dibandingkan bergerak sendiri. Saya dijalankan, sangat mudah dari pada berjalan sendiri. Saya didekatkan, sangat gampang dibandingkan bila mendekat sendiri.

Tuhan selalu menjadi sebab dan tak pernah sebagai akibat, itulah hakikatnya, wilayah hati. Karena Gusti Allah berkehendak mengampuni, maka saya digerakkan dan tergerak untuk bertaubat. Kare Gusti Allah berkehendak untuk memberi, maka saya digerakkan dan tergerak untuk meminta.

Maka… Duh Gusti… perkenalkanlah diriMu kepadaku agar aku bisa mengenalmu, cintailah aku agar aku bisa mencintaiMu, hampiri aku agar kubisa dekat padMu.

Terserah... monggo kerso... sekehendakMu...

Tinggal mengupayakan dengan bersandar pada rahmatNya, menembus, merayapi dan memasuki “dimensi materi” dada dan kemudian lebih dalam lagi, jantung. Menghayati dan merasakan detaknya terus menerus sambil beriringan namaNya. Masuk lebih dalam lagi menembus “dimensi immateri”nya, yaitu kalbu atau hati.

Menelusuri sampai di bilik yang terdalam, tersunyi namun sekaligus juga terramai. Setiap orang pastinya berbeda merasakan dan memaknainya, sesuai kadar dan volume penghayatannya dalam mengalami Tuhan. Hal itu akan lebih mudah terkondisikan saat seseorang berjeda dari rutinitasnya, sesaat melepaskan segala urusannya dan menyerahkan diri kepadaNya dengan shalat.

Shalat merupakan sujud peniadaan diri di hadapanNya. Sadar bahwa yang ada hanya DIA dan itu sangat membahagiakan saat mengalaminya. Lalu apa lagi yang lebih membahagiakan selain mendekap dan menghadap atau sendhakep dan ngadhep padaNya di kedalaman dada kita sendiri di bilik terdalam dari jantung kita sendiri ?

Maka, setelah takbir saya pun sendhakep memeluk jantung dan bertumpu di perbatasan antara rongga dada dan perut (diafragma). Sendhakep dan ngadhep, nyatanya sangat membahagiakan.

Semoga Panjenengan semua dipanggil, digerakkan. dikenalkan dan didekatkan olehNya, agar hati menemukan terangnya, agar iman menemukan persemayamannya, agar akal menemukan kejernihannya, agar rasa menemukan ketepatannya dan agar nurani tak teralingi hasrat diri. Saya nunut.

Begitulah kira-kira.


---------

BAGUS herwindro, yang sedang belajar sendhakep dan ngadhep.

Telegram Channel : https://t.me/denBAGUSotre
Share this article :
Comments
1 Comments

1 komentar:

  1. Jadi ingat buku menuju sadar kepada Allah MSKA, tentang kembali ke subyek

    ReplyDelete

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger