Jejak

Written By BAGUS herwindro on Jul 17, 2015 | July 17, 2015

#0
Belum berpuasa sudah sibuk berhariraya.

#1
Karena dibelenggunya syetan pada saat Ramadhan inilah, wajah syetan yang sesungguhnya lebih tampak nyata dalam realitas fisik yang kasat mata. Wajahnya seperti wajahku, sama.

#2
Mall dan resto akan lebih banyak dan lebih dulu disapa saat maghrib. Tuhan, biasanya baru disapa sedikit di sisa waktu menjelang Isya', itu pun kalau tak terlupa.

#3
Betapa sulit meruhanikan jiwa meski berpuasa sekalipun, saat di tiapnya selalu tergoda oleh nikmatnya kepungan propaganda kuliner yang kini telah digayahidupkan.

#4
Selezat apa pun beragam makanan dan minuman, mulut tak akan bisa menerimanya saat semua dicampur menjadi satu, namun tak demikian dengan perut yang tak pernah membedakan rasa. Mulut adalah simbol syahwat, pelampiasan, perut adalah simbol kesejatian. Demikian pula kehidupan, hendak memperturutkan syahwat ataukah mencari kesejatian.

#5
Bukan pada variabel jumlah yang berfungsi untuk mengenyangkan dan menguatkan, bukan pula pada kandungan gizi yang untuk menyehatkan,namun kadar keberkahan dalam makanan itulah yang hakikinya menjadi hal utama yang menjadi kebutuhan tubuh manusia dan itu bisa dinilai saat sedang berpuasa. Cukup dengan sedikit ataukah masih harus dengan banyak atau bahkan berlebih ?

#6
Seenak apa pun makanan atau minuman, enaknya hanya saat di lidah, sebentar dan sedikit, sebab makin banyak jumlahnya kadar enaknya pun makin sedikit. Demikianlah seluruh. peristiwa kemakhlukan, selalu terbatas dan dibatasi, bergilir dan berganti-ganti, tak ada yang abadi, akan sirna dan pasti lebur di hadapan GUSTI.

#7
Secara fisik, puasa melatih manusia untuk tak tergantung pada makanan hingga membuat dirinya kuat, mengerti batas minimal kebutuhannya dan batas enak di lidahnya, tentu saja bagi yang mau mengilmuinya. Lauk tempe pun terasa nikmat asalkan dinikmati dan tak berpikir tentang daging saat memakannya..

#8
Makan setelah lapar dan berhenti makan sebelum kenyang merupakan rumus aplikatif di segala aspek dan level kehidupan, agar dunia hanya sebatas dalam genggaman tangan saja, tanpa keterikatan dan kemelekatan.

#9
Tak sekedar menunda atau menahan, namun sejatinya adalah mengendalikan. Mengendalikan segala hal, seluruh peristiwa, semua aspek dan level kehidupan yang cenderung sia-sia, berlebihan dan melampaui batas.

#10
Andai ada pilihan, pasti lebih suka tak puasa, demikian pula kewajiban lainnya. Namun, pada keengganan itulah nilai kemulian dari-Nya, saat manusia bisa mengungguli dirinya sendiri, mengungguli enggannya menjadi taatnya, mengungguli taatnya menjadi butuhnya dan mengungguli itu semua menjadi semata karena cinta kepada-Nya.

#11
Kalau setelah berjeda beberapa jam saja manusia begitu gembiranya bertemu saat Maghrib, maka bagaimana pula rasa bahagianya saat berjumpa dengan Gustinya ?

#12
Puasa itu jeda, berhenti sejenak, mengambil jarak dari segala keterikatan dan kemelekatan materi agar diri kembali meruhani sebagai awal kembali ke Yang Maha Suci.

#13
Tubuh kita bukan kita, pun demikian dengan pikiran, perasaan dan seluruh instrumen diri yang lainnya, yang mungkin sangat jarang kita perhatikan dan sadari. Puasa adalah jeda, momentum untuk mengenali kembali mana bagian diri yang sejati yang akan kembali ke GUSTI dan mana pula yang hanya sebatas lebur ke anasir pembentuknya.

#14
Berkesadaran penuh dalam meniti waktu subuh-maghrib dengan menikmati jalannya waktu yang seakan melambat tanpa mempercepatnya sekali pun dengan berbagai hal yang melalaikan, insya Allah akan mempercepat mencahayanya seluruh instrumen dalam diri kita.

#15
Bila saja perintah sahur yang diakhirkan dan berbuka yang disegerakan, dipahamkan dan diresapkan serta dicari rasanya dalam hati, insya Allah "krenteg"nya hati akan selalu waspada agar maunya kita berselaras dengan kehendaknya Gusti Allah dengan tidak menyegerakan yang diakhirkan-Nya dan tidak pula mengakhirkan yang disegerakan-Nya.

#16
Di imsyak ada batas antara, di subuh ada batas awal, di maghrib ada batas akhir. Di setiap lipatan kehidupan demikian juga adanya, selalu ada batas bagi yang jujur dan berani mengilmuinya. Pada batas itulah terletak keindahan hidup, sebab di situlah Gusti Allah menampakkan kehendak-Nya agar manusia mencari titik sejatinya di dalam semua kesemuan anggapan atau prasangkanya. Mencari tidak dalam iyanya atau iya dalam tidaknya, mencari sudah dalam belumnya atau belum dalam sudahnya, mencari anugerah dalam cobaannya atau cobaan dalam anugerahnya, mencari taat dalam maksiyatnya atau maksiyat dalam taatnya dan demikianlah seterusnya.

#17
Yang tampak mata belum tentu demikianlah adanya. Sebagaimana lahir yang tampak berpuasa, jiwa belum tentu berpuasa juga dari segala hasrat selain hasrat kepadaNya. Maka benarlah puasa itu untukNya, sebagai hikmah bahwa ada DIA di segala ujung perjalanan, dengan pengetahuanNya, keadilan dan ampunanNya, serta dengan segala kemahaanNya yang kita mengemis kepadaNya.

#18
Laparnya perut sangatlah jelas rasanya sebab letaknya di tubuh, namun laparnya ruh jarang yang mau mengacuhkan sebab letaknya di dalam rasa. Hati menjadi resah dan gelisah tak tentu arah, saat keyakinan pada Tuhan, kejujuran pada nilai kebaikan dan kesetiaan pada jalan keselamatan tak lagi menjadi pegangan.

#19
Laparnya perut karena terpaksa biasanya mengalutkan pikiran, namun laparnya puasa mestinya malah mengheningkannya sekaligus menenangkan jiwa serta mengendapkan rasa. Maka, nikmatnya berbuka memang menggembirakan namun akan lebih lagi bahkan juga membahagiakan saat dimampukan untuk menuai makna dan menggemgam hikmah tentang apa saja di sepanjang perjalanan puasa tadi. Semoga.

#20
Puasa itu personal, sunyi dan intim antara hamba dengan Tuhannya, tak terlihat bentuknya, tak ada gerak, ucapan dan hitungannya, serta tidak bisa dilakukan berjamaah. Yang jelas manusia selalu di posisi obyek dan Gusti Allah pasti subyeknya. Maka memposisikan diri sedemikian itu dengan amal yang dalam bahasa kesadaran berawalan DI bukan ME, biasanya sangat membantu meringankan langkah menuju pada-Nya, sebab kita meniadakan diri kita di hadapan-Nya, karena memang hakikinya kitalah yang selalu DIlihat, DIdekatkan, DImampukan, DIperjalankan, DIangkat, DIuji dan seterusnya oleh-NYA.

#21
Kalau dalam puasanya manusia menemukan bahwa di hadapan Gustinya dia selalau dalam posisi DI, maka semestinya dia juga menemukan bahwa dalam kebaikan di antara sesamanya dia berposisi ME dalam rangka pengabdiannya pada Gustinya. MEnghormati bukan minta dihormati, MElayani bukan dilayani, MEnyantuni bukan disantuni, MEndahulukan bukan didahulukan dan demikian seterusnya.

#22
Perlu kesungguhan mempertahankan kesadaran agar tak lagi terlelap saat bangun sahur. Fase kritis antara tidur menuju ke bangun sebab masih ada kantuk di antaranya. Pun demkian dengan seluruh level dalam setiap pertumbuhan kesadaran manusia, selalu ada fase kritis yang memerlukan kehatihatian, kesungguhan, kerendahhatian dan tentunya kepasrahan agar tak terlelap tidur lagi setelah bangun dan juga agar tak jumawa saat telah terbangun dari fase tidur.

#23
Kalau dalang saja bersabar memainkan wayangnya mulai awal hingga akhir sesuai urutan kisahnya, bagaimana pula dengan Gusti Allah. Kesabaran-Nya tak mungkin terjangkau oleh manusia, menggelar lelakon kehidupan bermilyar-milyar tahun cahaya entah sampai kapan. Maka dalam bahasa manusia, GUSTI pun berpuasa.

#24
Sebab masih ada malu, larangan yang tampak mata bisa dihihindari saat berpuasa dan itu mudah. Yang sulit adalah menghindarkan hati ini dari rasa rendah diri, bersangka buruk, menghakimi, meremehkan, mencela, marah, bangga, sombong, riya dan  takabur, meski sedang berpuasa sekalipun.

#25
Yang berpuasa semestinya lebih bisa menilai diri, masih perlukah syetan menggoda dirinya untuk berlaku zholim meski sebesar quark atom sekali pun, ataukah dirinya yang perlu menggoda syetan agar nantinya bisa dikambinghitamkan atas kezholimannya meski sebesar quark atom sekali pun. Syetan tak punya pilihan untuk menjadi cahaya sebab takdirnya sebagai api, pada manusialah pilihan itu ada, hendak melebur ke dalam api ataukah bertransformasi menjadi cahaya ?

#26
Puasa yang semestinya sunyi dari hingar bingarnya keinginan yang tanpa batas, yang semestinya senyap dari riuh rendah gebyarnya dunia dan yang semestinya sepi dari pesta poranya topeng kepalsuan, nyatanya masih saja menampakkan wajah-wajah kemewahan di balik perjalanan puasanya masing-masing. Mulai sahur hingga berbuka, mulai subuh hingga tarawih dan mulai awal puasa hingga berpuncak di hari raya. Eksistensi berpuasanya melebihi esensi puasa itu sendiri, eksistensi beragamanya melampaui esensi agama itu sendiri dan eksistensi hari rayanya melampaui esensi kefitrian itu sendiri.

#27
Kalau taqwa berarti keteguhan, kekuatan dan keistiqomahan diri dalam menghadap Gusti ALLAH dan mengutamakan-NYA dalam setiap keadaan diri, dalam setiap pertimbangan, pilihan dan keputusan hidup ini, tanpa jeda detik demi detiknya selama napas masih terhembus dan jantung masih berdetak, maka entah harus puasa berapa ratus tahun lagi agar diri ini bisa menggapai taqwa ?

#28
Lailatul Qadr. Andai saat itu Gusti Allah mengijabah seketika SATU SAJA permintaan kita yang khusus dan spesifik, APA YANG KITA PINTA ? Kebingungan, kebimbangan dan pertimbangan yang panjang menunjukkan bahwa kita sendiri pun sebenarnya tak pernah tahu tentang kehidupan kita, karena teralalu lama dan seringnya kita meng-ON-kan diri kita sendirt dengan meng-OFF-kan Tuhan kita, Gusti Allah.

#29
Saat mampu menemukan keheningan dalam puasanya, niscaya manusia  sadar sedang diperjalankan olehNya, sebagai aktor dengan lawan main aktor-aktor yang lain dalam sebuah drama panjang kehidupan yang mungkin penuh tragedi. Bila demikian, tentunya terkikis habis segala luka batinnya, seluruh trauma jiwannya dan semua kegelapan masa lalunya, lalu legalah hatinya karena mampu memaafkan [seluruh aktor lawan mainnya] dan tibalah bahagia sebab telah rela menerima dirinya apa adanya.

#30
Ramadhan semestinya merupakan proses peningkatan kesadaran kehambaan manusia yang akan berpuncak pada idul fitri yang sekaligus akan menjadi awal kembali ke tahap berikutnya. Semoga Gusti Allah menerima penghambaan kita semua. Taqoballahu minna wa minkum, taqobal Yaa Kariim.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger