PIKIRAN

Written By BAGUS herwindro on Feb 28, 2014 | February 28, 2014

Pagi tadi sebagaimana pagi-pagi yang kemarin, perjalanan menembus pinggiran kota Surabaya diwarnai kemacetan. Bahkan kali ini total, semua kendaraan diam tak bergerak sama sekali [ssstt... rahasia ya... traffic lightnya lagi merah soalnya, he... he... he...].

Jalanan macet bagiku merupakan sebuah siksaan jika  saat itu pikiranku mengangankan lancar. Inilah awal konflik di dalam diri, kenyataan yang harus dihadapi berkebalikan dengan gambaran pikiran sesuai yang diinginkan dan memang itulah tabiat pikiranku yang tak terkendali.

Pikiran adalah hasil dari proses berpikir dan hanya manusia saja yang mampu berpikir, sebab manusia dilengkapi dengan akal. Jadi kira-kira, akal ini adalah softwarenya, otak adalah hardwarenya, inputnya adalah segala 'gerak' dan outputnya adalah pikiran. Namun kira-kira juga, bahwa output yang berupa pikiran ini pun dipengaruhi oleh pertama yaitu  'jiwa yang tenang' yang nantinya akan menghasilkan pikiran obyektif (apa adanya tanpa unsur suka atau tidak suka) dan yang kedua dipengaruhi oleh 'jiwa yang gelisah' yang nantinya akan menghasilkan pikiran subyektif (maunya sendiri, lekat dengan unsur suka atau tidak suka).

Selama rasa suka atau tidak suka masih melekat dalam diri, maka selama itu pula manusia akan selalu mengalami konflik, baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya.

Lho kok bisa ? Ya bisa. Mau tahu ? Wani piro ?

Sangkan paraning dumadi. Sebuah kalimat Jawa yang sarat makna, yang secara singkat berarti asal muasal dan tempat kembalinya semua makhluk. Dumadi itu bisa diartikan makhluk atau semua yang diwujudkan oleh Gusti Allah. Dumadi itu sebenarnya tidak ada, karena adanya karena diadakan oleh Yang Maha. Wujud.

Maka tidak sekalipun pikiran manusia memiliki kesanggupan untuk mengenal Yang Maha Wujud, sebab yang namanya Tuhan pasti berbeda dengan ciptaanNya, tak terjangkau oleh kata dan tak pula tergenggam oleh makna. Tan kena kinaya ngapa dalm bahasa Jawa.

Pikiran manusia hanya bisa mencoba memahaminya melalaui makhluk ciptaanNya / dumadi. Maka lahirlah berbagai macam ilmu yang bersifat parsial yang itu tidak pernah selesai sebab selalu ada penemuan-penemuan baru baik yang menyanggah penemuan sebelumnya atau pun yang memperkuat dan mempertajam penemuan sebelumnya.

Di samping yang bersifat parsial, tentunya juga lahir ilmu yang bersifat universal, dalam arti berlaku secara keseluruhan bagi semua dumadi/makhluk ciptaanNya, seperti misalnya bahwa semua dumadi/makhluk memerlukan atau berada di dalam ruang, bahwa semua dumadi/makhluk yang 'hidup' geraknya memerlukan waktu, dan yang lainnya, yang tentu saja pembahasannya bisa sangat luas.

Secara umum, dalam membaca keadaan pikiran akan melakukan identifikasi yang berujung pada adanya dualitas antara laki-perempuan, panas-dingin, kaya-miskin, sehat-sakit, sesat-tidak sesat, surga-neraka, benar-salah, positif-negatif, baik-buruk, lapang-sempit dan seterusnya dan sebagainya.

Dualitas adalah pilihan, dan pikiran berlandas rasa suka dan tidak suka akan memilih salah satunya. Yang dipilih biasanya yang disukai meski berlainan dengan realita yang sedang dihadapi. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya kedamaian di dalam diri dan kalau yang di dalam tidak ada kedamaian, maka yang diluar pun apalagi, pasti lebih kacau.

Hari ini hari Jum'at dan siang ini waktunya sholat Jum'at, lha kok khotibya suka mengutuk, teriak-teriak dan ngamuk-ngamuk dan aku tidak menyukai itu. Sementara saat itu pikiranku memilih khotib yang khotbahnya membuatku mengantuk biar bisa khusyu' [tidurku], maka hasilnya ada konflik di dalam diri yang membuat perasaan tersiksa, jadinya sepanjang khotbah bukan malah eling sama Gusti Allah tapi malah ingin misuhi khotibnya. [Duh Gusti nyuwun ngapuro.] Lha kalau misalnya benar-benar aku mengumpat sang khotib, pasti jadi ribut, konflik terbuka di luar diri.

Sama halnya ilmu yang dianggap benar [subyektif] oleh seseorang, maka ia akan menyalahkan ilmu orang lain yang tidak sama dengan ilmunya dengan menyesatkannya. Itulah konflik di luar diri, apalagi kalau fentung atau bom yang bicara, rusaklah tatanan kehidupan bebrayan agung.

Kedamaian diri atau berhentinya konflik diri akan berakhir ternyata kalau aku mengakhirinya sendiri, yaitu dengan tidak memilih dualitas sebagai hasil identifikasi pikiran, dalam arti menghadapi dualitas itu apa adanya.

Saat sakit tidak memilih sehat [meski tetap mengupayakan sehat], saat hujan tak memilih kemarau, saat sempit tak memilih lapang, saat pahit tak memilih manis dan begitu seterusnya. Pikiran menerima apa adanya | saat ini, di sini, seperti ini, aku menerima | saiki, kéné, ngéné, aku gêlêm.

Suatu hal yang sulit pada prakteknya, namun harus tetap dilatih terus dengan mengilmui pola dasar pikiran kita masing-masing.

Untuk tidak memilih, pikiran memang harus hening namun tidak bisa dipaksa hening, sebab pikiran itu liar - locat ke sana ke sini - semakin dipaksa hening akan semakin liar.

Hanya ada dua cara [katanya sih...] untuk mengheningkan pikiran, yaitu mengamatinya dan atau mengalihkan perhatiannya.

Mengamati keliaran pikiran berarti menerimanya dengan melihat gerak-geriknya dan terutama merasakannya. - Ouw ternyata aku lagi mikir si dia, lho lha terus jadi ingat kejadian tadi pagi, bagaimana ya kabarnya si fulan sekarang, paling engga senang lihat gambar caleg di pinggir jalan dan seterusnya diamati terus pikiran kita sedang apa dan dirasakan juga perasaan yang muncul silih berganti. - Terus begitu, nanti perlahan-lahan pikiran akan hening dengan sendirinya. Jadi ingat dawuhnya, bahwa kalau sholat engga usah dikhusyu'-khusyu'kan kalau memang belum khusyu', melainkan dengan berpikir bahwa mungkin memang Gusti Allah masih mentakdirkan kita belum khusyu' [kuartikan menerima]. Bila demikian bisa jadi kita malah khusyu'.

Nah kalau mengalihkan perhatian itu adalah dengan memperhatikan sesuatu secara khusus agar rasa lebih mendominanasi. Bisa dengan mengulang-ngulang suatu kata atau kalimat yang bermakna atau menyentuh rasa / dzikir, bisa juga dengan merasakan detak jantung, denyut nadi atau pun keluar masuknya nafas.

Saat pikiran hening, biasanya seseorang tidak akan reaktif, sebab rangsang inderawi diterima apa adanya. Lihat perempuan cantik atau tidak, tiadak akan berbeda bagi pikiran yang hening [kalau aku ya tetap milih yang ayu, wong jelas beda, he... he... he...].

Mudah-mudahan ada manfaatnya.

Semoga Panjenengan dan saya dikaruniai keheningan pikiran yang menentramkan jiwa.


Hanya dari jiwa yang tentramlah keindahan cintah dapat hadir. Cinta yang di dalamnya meleburkan segala perbedaan, cinta yang di dalamnya menyatukan semua keterpisahan dan cinta yang di dalamnya membahagiakan semua kedukaan.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger