MARAH

Written By BAGUS herwindro on Feb 26, 2014 | February 26, 2014

He...he...he... lagi-lagi terbentur realita tentang diriku sendiri, bahwa ternyata kenyataannya nyata-nyata cinta, kasih dan sayangku palsu, belum tulus sehingga aku belum lulus karena banyak modus. Seperti kata pepatah - ada udang di balik rempeyek - atau pribahasa ada gula ada kopi, he...he...he... tinggal cari air panasnya.

Belajar dan berlatih lagi menelusuri untuk mengerti dan memahami jiwa yang disematkan di dalam badan wadag ini. Sebab jiwa tidak kasat mata, maka untuk mengerti dan memahaminya pun perlu perangkat yang tidak kasat mata pula, yaitu rasa.

Hari ini aku menemui marah di dalam jiwaku, sebuah perasaan yang sangat tidak nyaman di dada. Detak jantung bertambah cepat, nafas pun menjadi pendek. Sebuah perasaan yang sangat menguras energi.

Kutemui pula bahwa di balik semua perasaan yang silih berganti unjuk gigi (padahal perasaan itu engga punya gigi) di dalam dada, biasanya dilandasi oleh rasa suka atau rasa tidak suka. Rasa suka atau tidak suka inilah yang menyebabkan aku tidak pernah bisa untuk obyektif dan selalu saja subyektif dalam menilai segala sesuatu. Itu aku, saya yakin kalau Panjenengan tidak. Tidak beda maksud saya, he... he... he...

Kucari marah yang terdekat denganku di lingkungan terkecilku, sebab marah yang jauh dan di lingkungan yang lebih luas pun kalau dicari esensinya pasti sama.

Ya... marah sama anakku. Di antaranya karena enggan dalam hal belajar (padahal aku dulu juga begitu... :D).

Pertama

Aku marah karena aku tidak suka, di sisi lain anakku enggan belajar karena dia suka. [Perlu diverifikasi lagi tentang ketidaksukaanku ini, nanti].

Anggapanku, enggan belajar adalah hal yang tidak baik, maka aku marahi dia, karena aku berpikir kalau aku marahi dia maka dia akan jadi baik dengan rajin belajar. Namun di situlah letak kelalaianku. Andai dengan marah-marah sesuatu yang tidak baik akan menjadi baik, maka rasanya tidak perlu waktu lama untuk mengubah wajah dunia menjadi lebih baik. Marahi saja orang-orang yang dianggap tidak baik, kalau perlu sambil bawa pentungan dan memekikkan takbir ! (Mohon maaf bukan maksud saya untuk tidak menyindir kelompok berfentung)

Di satu sisi aku tidak suka terhadap keengganannya untuk belajar dan aku merasa bahwa ketidaksukaanku tersebut adalah suatu hal yang benar. Di sisi yang lain, anakku merasa tidak suka untuk belajar dan menganggap hal itu bukan sesuatu yang salah, sebab mungkin menurutnya meski tidak belajar yang penting dia bisa mengerjakan soal-soal ujian dan bisa naik kelas. Lha kalau seperti itu berarti benar itu relatif, sebab rasa benarku berbeda dengan rasa benar anakku dan aku tidak bisa merasakan rasa benarnya anakku. Kalau suka itu benar sebaliknya kalau tidak suka berarti salah. Berarti pula rasa benarku itu subyektif, benerku dewe.

Dari sisi anakku pula, aku jarang -kalau tidak mau dikatan tidak pernah - merasakan rasa tidak suka anakku dalam hal-hal tertentu terhadap diriku, seakan-akan aku mengatakan padanya, "Aku berhak tidak menyukai hal-hal yang ada dalam dirimu, namun engkau tidak sekali pun berhak untuk tidak suka pada hal-hal yang ada dalam diriku".

BERARTI rasa suka atau tidak suka telah menghalangiku untuk bersikap obyektif, adil dan apa adanya. Kalau pada contoh ini pada anakku, maka di luar itu ketidakadilanku pasti lebih luas dan lebih berat lagi kadarnya.

Kedua

Aku sering mengatakan kalau marahku itu karena cinta, kasih dan sayangku. Aku sering mengatakan pula kalau anakku baik tentunya juga untuk dirinya sendiri nantinya. Namun pada kenyataannya cinta, kasih dan sayangku itu belumlah tulus, sebab diam-diam ada pamrihku sendiri meski sebenarnya aku juga tidak mau mengakui.

Kira-kira begini, kalau anakku rajin belajarnya dan lancar studinya apalagi kalau dapat memenuhi berbagai harapanku kepadanya, maka setidaknya aku sebagai orang tuanya akan merasa bangga. Dia tidak menjadi beban pikiranku dan dapat mandiri lepas dari tanggung kewajibanku. Itulah harapanku tentang "baik" darinya. Maka saat harapanku itu kelihatannya akan sulit terpenuhi, marahlah aku, atas nama cinta, kasih dan sayang, bahkan mungkin atas nama Tuhan dengan berlindung di balik eksistensiku sebagai orang tua.

Apa masih pantas dikatakan cinta, kasih dan sayang saat semua itu terbatas atau dibatasi oleh : syarat dan ketentuan berlaku ? Ah... jadi malu.

Kalau mau menyelami rasanya anakku, sebenarnya sama dengan rasaku, dia pun berharap banyak kepadaku sebagai ayahnya, yaitu kebanggaannya dan orang yang diharapkan memenuhi kebutuhannya. Bukankah sebagai orang tua aku juga tak selalu membanggakan dan tak selalu pula bisa mencukupi semua kebutuhannya.

BERARTI sebenarnya antara anak dan orang tua sama rasanya, saling memanfaatkan. Kenyataan ini memerlukan ketabahan, yaitu kesungguhan dan keberanian melihat segala sesuatu secara apa adanya terlepas dari rasa suka atau tidak suka.

KIRA-KIRA

Marah harus tanpa amarah - tidak meledak-ledak apalagi kalau hawanya sudah merusak – dalam arti sekedarnya saja dengan menelusuri asal muasal perasaan marah itu dan sekaligus menelusuri perasaan dari dia yang menjadi obyek kemarahan.

Saat hakikat marahku yang sedang melanda diriku berhasil aku pahami dan juga dengan merasakan rasanya dia hingga merasakan rasa yang sama, maka marahku itu biasanya akan reda, sirna dan malah berubah menjadi cinta, kasih dan sayang yang tulus serta menentramkan jiwa.

----------

Kalau antara orang tua dan anak saja saling memanfaatkan, maka apalagi kalau hanya dengan orang lain, meski itu seorang sahabat karib sekalipun.

Meski tak diakui, setiap saat dalam interaksi selalu terjadi tarik menarik energi, saling menghisap energi, saling memanfaatkan demi pamrih tersembunyi. Maka, kita akan merasa tak nyaman dengan mereka yang tak sependapat, tak sepaham, tak sehaluan dan tak-tak yang lain, sebab kita tak bisa menghisap energi mereka, dalam arti bahwa tak ada yang diharapkan dari mereka untuk merealisasikan. Mereka yang menjadi sahabat kita sebenarnya bukan karena selaras, tapi lebih karena kita menghisap energinya sebab kita masih memerlukan pengakuannya tentang diri kita sebagai seorang sahabat dan pastinya dia ada manfaatnya bagi diri kita. Ini harus disadari, sebab mungkin saja suatu saat nanti sahabat kita melakukan hal yang mengecewakan kita.

Dan pada akhirnya kutemukan bahwa hanya Gusti Allah yang tidak mempunyai pamrih. Gusti Allah itu engga butuh aku blas… aku sing butuh.

----------

Semoga ada manfaatnya.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger