"SURGA ITU DI BAWAH
TELAPAK KAKI IBU !!!!”, teriak seorang ibu kepada anaknya, dengan ekspresi
kemarahan yang sangat, matanya melotot, seluruh otot tubuhnya mengencang dan
napasnya pun tersengal. Betapa ngerinya…. Ah… tapi itu hanya adegan sinetron
kok, namun demikian adegan tersebut sesungguhnya [bagi saya] lagi-lagi memuat sebuah
hikmah tentang sebuah esensi di balik sebuah eksistensi.
Sederhana saja, dalam
konteks kalimat sebagaimana di atas, IBU merupakan sebuah eksistensi bagi
seorang manusia, perempuan dan memiliki anak. Surga adalah kemuliaan, maka
seorang ibu yang di bawah kakinya ada surga berarti bahwa esensi dari ibu
adalah kemuliaan itu sendiri, mulia dan memuliakan. Itu berat, karena tidak ada
pilihan lain bagi seorang ibu kecuali hanya menunjukkan, menyediakan dan membimbing
anak-anaknya ke jalan surga, ke jalan keridhoannya Gusti Allah.
Sama seperti dawuhnya
Kanjeng Nabi : “Seandainya aku diperbolehkan untuk memerintahkan seseorang
untuk bersujud kepada selain Allah, sungguh akan kuperintahkan wanita untuk
bersujud kepada suaminya.”
Maka dalam konteks
kalimat itu, SUAMI adalah eksistensi bagi seorang manusia, laki-laki dan
memiliki istri. Esensinya adalah bagaimana suami itu memang layak di”sujud”i
dengan menunjukkan, menyediakan dan membimbing istrinya pada jalan sujud yang
sejati kepada Gusti Allah.
Dari kedua contoh
eksistensi dan esensinya sebagaimana di atas, saya kira bisa menjadi sarana
bercermin tentang eksistensi sekaligus esensi dari diri kita masing-masing dan laku
atau pengejawantahanannya atau aplikasinya sesuai predikat yang melekat
pada diri kita dalam berbagai peran kita dalam lingkup agama, sosial kemasyarakatan,
ekonomi, budaya, politik, pemerintahan, negara dan yang lainnya. Sudahkah diri
kita masing-masing selalu “eling” atau menyadari esensi yang kita sandang di
balik eksistensi kita ?
KENYATAANNYA, di saat
kepentingan [nafsu] seseorang [terutama diri saya sendiri] dianggap ada yang
mengganggu sehingga tidak terpenuhi maka biasanya seseorang itu akan bereaksi
dengan menonjolkan eksistensinya tanpa ingat sedikitpun akan esensi yang
diembannya, bahkan lebih parah lagi esensi yang diembannya itu dijadikan alibi
untuk memperkuat eksistensinya dalam rangka memuaskan kehendak [nafsu]
pribadinya.
“SAYA INI TENTARA,
PENJAGA STABILITAS NEGARA”. He… he… he… tentara itu kan semestinya melindungi
rakyat kecil yang uangnya pun kecil [recehan], kok malah hanya tunduk pada
perintah RAKYAT BESAR yang punya uang besar. Seharusnya melindungi kok malah
menakut-takuti.
“SAYA INI POLISI…” | “SAYA INI GURU…” | SAYA INI ANGGOTA DEWAN… “ | “SAYA INI KEPALA KELUARGA…” | “SAYA INI USTADZ…”
“SAYA INI POLISI…” | “SAYA INI GURU…” | SAYA INI ANGGOTA DEWAN… “ | “SAYA INI KEPALA KELUARGA…” | “SAYA INI USTADZ…”
Ruwet memang
urusannya kalau sudah ketemu dengan yang namanya SAYA INI, apalagi kalau
ditambahi LHO, “saya ini anu lho !!!”
LEBIH ruwet lagi
kalau ketemu dengan yang lupa pada dirinya sendiri he… he… he… : “Kamu ndak
tahu, siapa saya ?!”
Ah… ya sudahlah yang
mau begitu ya monggo, mumpung masih punya eksistensi sebelum jatah ruang dan
waktu bagi eksistensinya habis dan lebur kembali ke ketiadaan.
Yang mengejar
eksistensi, selalu kehilangan esensi.
Semoga Panjenengan dan saya
selalu dielingkan untuk tetap merelakan diri mengabdi sesuai esensi yang
dimanahkan kepada diri Panjenengan dan saya.
Kira-kira begitu.
Catatan :
Karena ada yang membo-membo
seakan saya, mohon maaf agak narsis [bukan] sedikit alias banyak, bahwa
penulis blog ini bisa ditemui di akun FB : masden.bagus [Bagus Otre] dan
denmas.bagus [Raden Bagus Herwindro].
kang Bagus, boleh mintak nomor hpnya lg gak ?
ReplyDeletesoalnya yg dulu hilang.
makasih.
say kenz
emailen disik den.bagus@ymail.com
Deletesudah kang
ReplyDelete