“He.... he.... he...
cucok bin pas”, itu kata hatiku saat itu, kala mendengarkan ucapan Beliaunya di
beranda rumah. Ya... Lik Kliwon demikian aku mengenal dan
memanggil namanya. Seseorang yang berkelimpahan dalam kesederhanaannya, dengan
profesi yang mungkin tak dianggap oleh orang-orang yang mengaku moderen, padahal
tanpa profesi ini niscaya keberlangsungan hidup manusia sudah lama berakhir.
Profesi mulia itu adalah PETANI, penyangga danpenyedia kebutuhan dasar manusia,
bahan pangan.
Sebuah profesi yang
menuntut kerelaan lebih untuk tidak membatasi rahmatnya Gusti Allah dengan
membatasi suburnya tanah hanya dalam pot kecil saja dan untuk dirinya sendiri,
melainkan menebarkannya menjadi berkah bagi sesama. Sebuah profesi yang
mensyaratkan kesetiaan dan kesediaan diri untuk melintasi waktu yang tak
singkat, membajak tanah dan membenamkan benih di dalamnya, memproses dan
berproses hingga yang satu bulir berlipat kali kemanfaatannya menjadi
beratusribu bulir, mengubah rahmat menjadi berkah.
:: Orang hidup itu
yang diminta kebanyakan sama meskipun caranya berbeda. Ada yang pakai cara agama
ada juga yang dengan cara adat, biasanya yang namanya manusia itu mintanya
sehat, selamat, syukur kalau mudah mencari rejeki, ada yang tani, ada yang jadi
pegawai, ada yang dagang dan sebagainya. ::
Sebuah kalimat yang
sederhana, namun justru dalam kesederhanaan kalimat itulah sebenarnya terletak
awal dari kedamaian yang nantinya akan membuahkan
kebahagiaan.
Kedamaian, sebab yang dilihat
adalah persamaannya bukan perbedaan. Sejak lahir pun setiap manusia pasti
berbeda dengan manusia lainnya, bahkan di seluruh semesta ciptaanNya selalu
mempunyai ketakterhinggaan kemungkinan yang tidak mungkin disamakan. Menerima
sebuah perbedaan dengan tetap mengapresiasi perbedaan itu sendiri merupakan
sesuatu yang sudah mulai langka di jaman ini,
dimana banyak orang, banyak pihak dan banyak paham yang lebih
mengedepankan eksistensinya masing-masing tanpa memperdulikan esensi yang
diembannya. Berapa banyak manusia yang seolah telah menjadi tuhan bagi manusia
lainnya dengan mengklaim sebagai pemilik kebenaran dan merasa berhak menentukan
sanksi bagi mereka yang tidak sepaham, bahkan menerakakan manusia lain pun
sangat gampang mereka lakukan dengan mengkapling surga menjadi miliknya sendiri.
Menajiskan mereka yang tak sekeyakinan, tanpa mau melihat najis yang ada di
hatinya sendiri. Mengkafirkan yang lain tanpa mau menengok kafir hatinya
sendiri. Ah... sungguh ter... la... lu.... (jangan lupa dengan cengkok khasnya
itu he... he... he...). Maka mereka yang tak mempermasalahkan dan memperuncing
perbedaan adalah mereka yang memiliki kedamaian dalam dirinya dan itu
membahagiakan sebab mereka rela menerima perbedaan sebagai anugerah keindahan
dari Gusti Allah.
Kebahagian. Meminta pasti pada
Yang Maha. Kalau berharap letaknya masih di dalam, tetapi kalau meminta pasti
sudah di luar terekspresikan dalam sebuah ritual, doa namanya, baik doa secara
lisan atau doa yang melalui berbagai simbol, baik yang melalui laku agama atau
pun laku adat budaya. Nah kalau sudah ada kesadaran doa, maka berarti manusia
menyadari kehambaannya, kelemahannya dan ketakberdayaannya tanpa kekuatan
dariNya, serta ketaktahuannya tentang apa yang ada di hadapannya nanti. Maka doa
merupakan pengejawantahan dari sikap tawakal, bahwa di depan sana masih
merupakan samudera kemungkinan yang termungkinkannya sudah mulai kita rintis
saat ini dengan berusaha menyempurnakan ikhtiar. Ikhtiarnya, merupakan urusan
manusia yang menjadi kewajiban dari Gusti Allah. Doa pun menjadi urusannya
manusia dan yang juga menjadi kewajiban dari Gusti Allah. Sedangkan hasil
ikhtiar maupun ijabah doa merupakan urusannya Gusti Allah. Maka manusia yang
menyadari kehambaannya di hadapan Gustinya, yang memahami di mana letak urusan
manusia dan di mana letak urusan Gustinya, biasanya akan menjadi manusia yang
bahagia pula sebab tidak terbebani oleh hasil panennya, yang diseriusi selalu
dan selalu proses menanamnya. Ngono
yo ngono, ning ojo ngono. Sedih ya sedih tapi jangan sedih-sedih banget.
Gembira ya gembira tetapi ala kadarnya saja, sakmadyo. Sadar dan
menyadari bahwa kridaning ati ora biso mbedah kutaning pesti (menggebunya
semnagat takkan mampu mengoyak benteng takdir) serta paham dan memahami bahwa
ora ono kasekten kang biso ngalahke papesten (tak ada
kesaktian/kreativitas/metode yang bisa mengalahkan kepastian
takdir).
:: Cara agama atau
pun cara adat itu sebenarnya kan turun temurun, memperhatikan dari yang
terdahulu. Si anak sekarang begini karena melihat dulu laku orang tuanya begitu.
Orang tuanya dulu juga karena mempelajari laku neneknya, begitu seterusnya.
::
Selalu ada mata
rantai pendidikan, sebab transfer ilmu tidak mungkin kalau hanya secara
tekstual, selalu ada penjabaran, penjelasan dan yang utama contoh laku nyatanya
yang berdasar. Maka sangatlah mengherankan, pada jaman ini banyak yang dengan
mudahnya membid’ahkan, mentahayulkan, mensyirikkan segala sesuatu yang mereka
sebenarnya tak punya ilmunya tentang itu. Lebih parah lagi mengkafirkan. Ah...
sungguh ter... la... lu....
:: Seperti misalnya
kalau seorang anak berulah, katanya orang tua dulu itu karena diganggu
saudaranya sendiri, maka itu harus dirituali dengan ubo rampe tertentu bagi yang
memahaminya. ::
Kalimat yang itu saya
setuju puollll.... Hebatnya orang Jawa ya seperti itu, mungkin karena manusia
jawa dulu itu selalu menjaga dan terjaga kualitas ruhaninya hingga tidak saja
‘alim melainkan juga arif, hingga tidak saja mengilmui Gusti Allah tetapi juga
memakrifatiNYA. Maka begitu memakrifati Gusti Allah, Gusti Allah pun
memakrifatkan mereka kepada makhlukNya, sehingga manusia Jawa dulu itu begitu
detail pengenalannya terhadap segala maklhuk ciptaan Allah. Tanpa hipotesa,
tanpa teori, langsung ngelakoni.
Sebelum barat dengan
psiko analisanya berteori tentang kepribadian manusia yang terdiri dari banyak
bagian atau diistilahkan sebagai ego state, manusia jawa telah jauh
memasuki dirinya sendiri melalui protokol sedulur papat limo pancer dan
kakang kawah adi ari-ari yang bisa dilakukan langsung oleh yang
bersangkutan atau melalui ubo rampe untuk melakukan koneksi terhadapnya,
termasuk apa yang di ranah psiko analisa diistilahkan sebagai introject.
Tentu saja semua itu memang harus diserahkan pada ahlinya, dalam arti mereka
yang masih memegang pakem ritual.
Tak ada yang aneh
untuk hal-hal semacam itu. Ubo rampe termasuk juga di dalamnya japa
mantra itu sesungguhnya merupakan salah satu bentuk password untuk
terkoneksi pada suatu sistem kealamsemestaan sesuai yang digariskan Gusti Allah
dan sebagai sebuah password tentu saja harus tepat. Kalau “a” ya harus “a” tidak
bisa diganti dengan “A”, begitu seterusnya. Itulah salah satu bagian dari
kearifan lokal dan itu merupakan kreativitas super. Maka saya bangga menjadi
orang Jawa dengan keluhuran adat istiadat serta ketinggian budayanya, saya
bangga dengan cengkok suroboyoan saya dan contoh kecil adalah tetap
dengan panggilan “aku, koen, sampeyan, peno, kowe, awakmu” yang wajar
tanpa perlu nggaya nJakarta atau mBetawi dengan
“loe-guenya” dan tak perlu juga kemarab dengan “ana, antum,
akhi, ukhti” he... he... he... serta sekali tempo mengekspresikan kemesraan
dengan para sahabat saya dengan pisuhan “jangkrik, jancuk, matamu,
dengkulmu anjlok” dan sebagainya ha...ha...ha...
Kira-kira begitu.
Catatan
:
Karena ada yang
membo-membo seakan saya, mohon maaf agak narsis [bukan] sedikit alias
banyak, bahwa penulis blog ini bisa ditemui di akun FB : masden.bagus
[Bagus Otre] dan denmas.bagus [Raden Bagus
Herwindro].