Home » , , » UANG

UANG

Written By BAGUS herwindro on Aug 3, 2013 | August 03, 2013

Tak jarang saya biasanya memberikan wejangan secara khusyuk pada uang yang sedang menjadi “milik” saya sebelum berpindah tangan, begini : “Pergi ya pergi, sejauh mana pun engkau pergi, jangan lupa pulang ke rumah bawa teman yang buaanyaaakkkkk.”

He… he… he… boleh ditiru.

Maaf, bukan bermaksud menyombongkan diri atau bukan karena sudah tuntas mengolah jiwa, dengan berat hati saya paparkan fakta tentang diri saya bahwa dalam skala prioritas hidup saya, uang itu bukan merupakan prioritas yang pertama namun bisalah kalau saya katakan menempati skala prioritas ke-75 dan saya yakin Panjenenengan belum banyak yang bisa menempatkan uang pada skala prioritas ke-75 sebagaimana saya. Namun yang menjadi masalah bagi saya adalah bahwa skala prioritas ke-1 sampai dengan ke-74 dalam kehidupan saya masih kosong alias belum terisi he… he… he…

ITU MASALAHNYA dan itu tentang saya.

Banyak orang tua yang memesankan kepada anaknya agar sekolah yang pintar sehingga kelak mempunyai pekerjaan yang mapan, hidup enak dan nyaman. Apalagi makin lama tatanan kehidupan makin jauh dari kesalehan. Persaingan hidup begitu tingginya, semua bidang kehidupan diindustrikan ditambah lagi pengelolaan negara yang amburadul oleh pemerintah sehingga pada akhirnya saat ini tidak ada kejelasan mana Negara mana pemerintah. Semua berlomba berkuasa dan menguasai, tak jelas lagi beda antara pejabat dan penjahat, tak jelas juga beda antara aparat dan keparat. Semua tak lepas dari pamrih yang berlebihan, hingga fakta menjadi fatamorgana, hingga yang saleh malah kelihatan salah dan sebaliknya yang salah terlihat saleh.

Wis mbuh….

Setiap manusia berusaha bertahan hidup dan kebutuhan utama dalam mempertahankan hidupnya adalah makan, tetapi tentunya tidak hanya makan itu saja bukan ? Perlu tempat tinggal, perlu air, perlu listrik, perlu transportasi, perlu pendidikan dan seterusnya yang tentunya sangat beragam sekali tergantung pada level sosial ekonomi mana seorang manusia itu berada. Semua itu transaksional dan kebutuhan utama untuk itu adalah uang. Maka energy terbesar dipersiapkan dan dipergunakan untuk mencari uang, bagaimana caranya mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan. Bagi yang kebutuhannya sudah terpenuhi, bagaimana caranya memiliki uang untuk memenuhi keinginan. Bagi yang keinginannya sudah terpenuhi, bagaimana caranya memiliki uang untuk memenuhi keinginan yang lain lagi yang tentunya lebih menyenangkan, lebih membanggakan, lebih nyaman, lebih menggairahkan dan lebih-lebih yang lainnya menurut anggapannya. Akhirnya uang yang berkuasa, kehormatan dinilai dari uang, dinilai dari kepemilikan harta benda. Saat uang berkuasa, kebenaran dan keadilan tetap bernama kebenaran dan keadilan, namun tidak bermakna hakiki sebagai sebenar-benarnya kebenaran dan keadilan.

Kembali lagi ini tentang saya….

Diam-diam uang sudah menjadi tuhan dalam hati saya.

Salah satu diri saya ingkar, “TIDAK, tuhan saya Gusti Allah !”

Namun di saat yang sama, bagian diri saya yang lain mencibir sinis, “Preketek ! Tuhan itu yang memiliki porsi terbesar dalam hidupmu, yang DIA engkau utamakan dan pertamakan, sudahkah demikian ?

“Tapi saya kan tidak pernah sekali pun menganggap uang itu sebagai tuhan.”

Ya, engkau memang tak pernah menganggapnya sebagai tuhan, namun apa yang ada di balik perasaan dan pikiranmu itulah yang menempatkan uang sebagai tuhan.

“Apa buktinya :”

Selama ini uang engkau posisikan sebagai sebab bukan sebagai akibat. Uang bagimu menjadi sebab sehingga dirimu bisa ini dan itu, padahal sebenarnya uang itu hanya sebagai akibat dari rahmatNya Gusti Allah kepadamu. Kalau pun toh engkau memposisikan uang itu sebagai akibat, maka kesadaranmu mengatakan bahwa sebabnya adalah kepandaianmu, keahlianmu, ilmumu, prestasimu dan mu-mu yang lainnya, padahal semua itu sebenarnya juga sebagai akibat dari rahmatNya Gusti Allah kepadamu.

“Tapi aku kan tetap shalat, dzikir, puasa, zakat dan sedekah ?”

Sahalatmu tak kunjung memuliakan aklaqmu, dzikirmu tak juga menentramkan jiwamu, puasamu tak membaikkan taqwamu, zakatmu terpaksa, sedekahmu kau jadikan ajang perdagangan untuk urusan duniamu Engkau tak benar-benar menghadap, bahkan lebih sering membelakangi Gusti Allah saat engkau shalat, dzikir, puasa, zakat dan sedekah.”

“Tapi bukankah bekerjaku juga merupakan perintahnya, mencari rejekinya di seluruh permukaan bumi ?”

Kau tahu itu, tapi tanpa kau sadari. Buktinya saat engkau berusaha dalam sarana penghidupanmu, hatimu sering dikuasai oleh ketamakan yaitu hasrat dirimu untuk memperoleh uang dan kecenderungan hatimu kepadanya, karena engkau tidak yakin akan jaminan bagianmu dari Gusti Allah.

Sering juga engkau merasa penat dalam mencari uang, badanmu lelah hingga lalai menjalankan berbagai perintah-Nya, risaunya hatimu tentang uang menenggelamkanmu di dalamnya tanpa memperhatikan hal lain hingga memutuskan hubunganmu dengan Gusti Allah, khususnya dan terutama hal itu melandamu saat engkau membutuhkan sesuatu dengan sangat untuk menjaga kelangsungan hidupmu.

Tak jarang engkau pun merendah kepada makhluk karena kurang yakinmu kepada Gusti Allah dan hatimu ikut mengatur berbagai cara untuk mendapatkan uang dengan lintasan nafsu pikiranmu yang terus menerus mengatakan tentang harus memiliki ini agar ini, harus dari sini dan begini dan seterusnya.

… sesaat hang

Saat uang sudah di genggaman tanganmu pun engkau sering dilingkupi sifat kikir. Kikir terhadap apa yang sudah engkau miliki hingga enggan mengeluarkan yang sudah diwajibkan seperti zakat, sedekah yang diwajibkan Gusti Allah yaitu menafkahi kedua orang tua, anak serta istri. Juga kikir untuk selain yang sudah diwajibkan, termasuk kikir terhadap diri sendiri dalam arti tidak mau berkorban untuk Gusti Allah.

Dan yang lebih kentara engkau bertuhan uang adalah vibrasi perasanmu sesuai penguasaanmu atas uang dan seluruh keturunannya dalam arti segala bentuk materi yang engkau dapat atas transaksi uangmu. Engkau selalu berduka atas apa yang luput dan bergembira terhadap apa yang engkau dapatkan. Semestinya, keyakinanmu terhadap Gusti Allah tidak akan membuatmu bergeser dalam menyikapi keadaan yang engkau alami. Tampaknya engkau cukup dengan Allah, nyatanya engkau merasa cukup dengan usahamu semata. Kelihatannya engkau gembira bersama Allah, ternyata engkau hanya gembira dengan keadanmu saja. Nyatanya, engkau tidak lagi merasa senang ketika keadaanmu yang menyenangkan itu tiada. Seandainya engkau benar-benar senang bersama Allah, tentu engaku akan senang pula selamanya bersama kebadian-Nya.”

… lebih hang lagi …

Namun satu bagian diri saya yang raja ngeyel rupanya masih ngeyel lagi, “Tapi uang kan penting !”

Jangan mengelabuhi hatimu sendiri, siapa yang bilang uang tidak penting ? Meski uang bukan segalanya, namun tanpa uang segalanya menjadi lebih sulit. Uang memang penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah apa yang dibalik uang itu, sikap hatimu, pola pikirmu dan vibrasi perasaanmu tentang uang itu.

Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa misi hidupmu untuk mengabdi padaNya dengan mengabdi pada kehidupan ini dengan jalan menebarkan rahmatNya untuk semesta. Uang merupakan salah satu bentuk rejeki dariNya dan itu rahmatNya. Tugasmulah untuk mentransformasikan rahmat menjadi berkah, mentransformasikan bentuk materi uang dan seluruh keturunannya menjadi cahaya, cahaya pengabdian kepadaNya. Buka DIA, Gusti Allah yang malah engkau suruh mengabdi kepada kepentinganmu, hasrat nafsumu yang takkan pernah ada habisnya. Maka banyak uang itu harus tetapi tanpa melekat padanya sedikitpun.”

Penat rasanya terus menerus berbicara dengan diri sendiri, ada keinginan untuk mengikuti yang benar, baik dan indah, namun di saat yang sama pada sisi yang lain ada pula dorongan untung mengingkari semua itu karena rasa malu pada diri sendiri mengakui wajah diri yang masih belepotan noda dan dosa. Selama ini rupanya saya lebih sayang pada uang dari pada TUHAN. Lebih menyesal kehilangan uang dan seluruh keturunannya dalam bentuk materi dari pada kehilangan Gusti Allah. Benar-benar kuoplakkkkk.

Saya jadi berpikir, apakah saya saja yang demikian, ataukah Panjenengan semua sedikit banyak juga mengalami hal yang sama ?

Uang menjadi tuhan kecil dalam hati saya, sebab diri saya melekat terhadap uang dan itu termasuk “klenik”, berarti perlu terapi untuk melepaskan kemelekatan dengan uang tersebut.

KIra-kira begini yang saya pikirkan :

Kalau uang saya transaksikan kemudian saya mendapatkan sejumlah barang atau jasa sesuai nilai uang tersebut, maka hal itu merupkan suatu kewajaran, biasa dan benar. Ada unsur imbal-balik dan aksi-reaksi. Berarti belanja tidak bisa dijadikan terapi untuk melepaskan kemelekatan terhadap uang tersebut.

Kalau uang itu saya zakatkan sesuai ketentuan, saya rasakan juga biasa dan benar, karena itu memang diwajibkan. Bahkan andai enggan berzakat pun, terpaksa akan saya lakukan karena kewajiban. Melakukan karena memang wajib, rasanya masih belum bisa dijadikan untuk melepaskan kemelekatan terhadap uang.

Berarti harus setingkat di atas itu, tidak wajib dilakukan, bukan saja benar tetapi juga baik, yaitu infaq atau sedekah. Tapi saat melakukan itu, masih saja tergambar tentang fadhilah infaq atau pun sedekah yang saya lakukan, belum bisa ikhlas. Apalagi kalau teringat metode sedekah ekstremnya salah satu ustadz selebritis negeri ini, ngeri. Sedekah pemancing rejeki, tambah lebih banyak unsur imbal-balik, untung-rugi dan jual-belinya. Salah menata niat malah akibatnya runyam, bukannya  mengabdi kepada Gusti Allah, tetapi malah mengabdi pada diri sendiri demi kepentingan perut sendiri agar rejeki lancar jaya. Infaq dan sedekahpun belum cukup ampuh sebagai terapi untuk melepaskan kemelekatan terhadap uang.

Lalu apa ?

Jadi ingat tentang bumi dan matahari. Bumi berputar pada porosnya dan berrevolusi terhadap matahari adalah demi perputaran dan revolusi itu sendiri yang merupakan ketundukannya sebagai hamba, demi mengabdi padaNya tanpa memperdulikan baik atau buruknya manusia yang menginjak tanahnya. Begitu pun matahari, dia begitu setia menyinari galaksinya tanpa pertimbangan siapa yang disinarinya, semata-mata demi penyinaran itu sendiri sebagai sebuh ketundukan akan pengabdian di hadapanNya. Itulah hakikat dharma makhluk di hadapan TUHANnya.

Itulah mungkin terapi yang paling pas pada jaman ini untuk melepaskan kemelekatan diri saya terhadap uang, agar saya tidak “nglenik” dengan menjadikan uang sebagai tuhan kecil di dalam hati saya. Harus berlatih siap secara ajeg mengeluarkan uang dari saku atau dari dompet atau dari rekening bank yang sementara menjadi "milik" saya untuk siapa pun walau dia atau mereka tidak berkekurangan sekali pun, tanpa pernah berpikir atau mempertanyakan untuk apa dan akan dibagaimanakan uang itu nantinya. Mengeluarkan ya mengeluarkan saja tanpa pamrih apa pun dan tanpa pertanyaan apa pun, begitu saja titik. Itulah dharma, itulah pengabdian kepadaNya dengan melayani mereka yang bisa menjadi “sebab” diterimaNya pengabdian kepadaNya, Gusti Allah. Saya kira untuk yang terakhir ini bukan saja benar, tetapi juga baik dan sekaligus indah.

Dharma itu bukan zakat, bukan infaq dan juga bukan sedekah. Dharma itu menyerap rahmatnya Gusti Allah dan mentransformasikan menjadi berkah untuk semesta bukan untuk diri sendiri dan berarti juga mentransformasikan materi menjadi cahaya, sehingga dharma itu  melayani bukan dilayani, mengabdi dan bukan bukan diabdi. Inilah surga, yang akan mengawali tentramnya jiwa, bangkitnya taqwa dan mulianya akhlaq.


Semoga ada manfaatnya.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger