MALIOBORO

Written By BAGUS herwindro on Aug 12, 2013 | August 12, 2013

Hari ini siang tadi, untuk ke sekian kalinya, saya berada di Jalan Malioboro Yogyakarta. Malioboro mengingatkan tentang sebuah merek rokok buatan amrik, namun malioboro sering juga diplesetkan menjadi “maraiboros” alias penyebab boros sebab di sepanjang jalan tersebut memang dijajakan berbagai hal yang menjadi kekhasan Yogyakarta. Maka tak heran pada saat libur lebaran seperti ini Yogyakarta dengan Malioboronya selalu penuh sesak oleh pengunjung dari daerah Barat yang mudik ke Timur terutama dari Jakarta, terlihat dari dominasi kendaraan berplat “B” atau “F” atau “D”, atau sebaliknya mereka yang mudik dari Timur ke Barat.

Jalan Malioboro merupakan nama jalan menuju Kraton Yogyakarta yang belum berubah, yang sudah berubah adalah jalan yang semula bernama Jalan Margo Utomo juga Jalan Margo Mulyo dan Jalan Pangurahan.

Seluruh tata ruang kawasan Keraton atau pun pengaturan bangunan Keraton itu sendiri tak ada yang tak bermakna, semua mengandung nilai filosofis perjalan hidup manusia. Nah, nama jalan menuju Keraton Yogyakarta sampai masuk ke lingkungan Keraton pun melambangkan perjalanan ruhani manusia dalam mencapai kemanunggalan dengan Gustinya. Manunggaling kawulo lan Gusti, manunggal dalam penyaksiannya bukan manunggal dalam wujudnya.

Salah satunya adalah MALIOBORO. Malioboro ~ malio mboro. Wali itu kekasihnya Gusti Allah yang tidak hanya cukup dengan yang telah diwajibkan, namun terus mendekat kepada Gusti Allah dengan yang tidak diwajibkan hingga keyakinannya kepada Gusti Allah benar-benar sampai dalam tahap Haqqul Yaqin, tidak hanya tahu, tidak hanya merasakan, melainkan seakan-akan telah menjadi itu sendiri, manunggal. Maka MALIO bermakna jadilah wali atau sederhananya tirulah lakunya para wali, mboro itu mengembara, sehingga lengkapnya tirulah lakunya para wali dengan mengembara, memasuki wilayah-wilayah tanpa sekat atau batasan-batasan yang diciptakan oleh manusia sendiri. Mengembara, menebar kebaikan dalam kapasitas masing-masing, srawung atau menyapa hati setiap makhluknya Gusti Allah, dengan berusaha memakrifati atau mengenali dan menyerap hikmah dari beragam persoalan, beragam peristiwa dan beragam fenomena hingga memperoleh kesimpulan bahwa di balik segala sesuatu hanya Gusti Allah-lah yang ada dan tampak nyata.

Kira-kira begitu.

Kebetulan saya shalat di Masjid Malioboro, kompleks DPRD Yogyakarta. Tepat di hadapan saya, terlihat seseorang pedagang asongan rokok yang juga sedang shalat. Asongannya diletakkan di sampingnya. Dia memakai rompi yang di bagian belakang atasnya tertulis nama salah satu perusahan rokok beserta merek rokok produknya. Tertangkap oleh mata saya tagline merek rokok tersebut : YAKIN SETIAP SAAT.

Wow… cucok itu…

Hidup enak siapa yang tak mau ? Kerja di gedung megah ber-AC, dengan segala fasilitasnya, ke mana-mana kendaraan yang nyaman pun tersedia. Bandingkan dengan beratnya menjadi pedagang asongan. Sebuah pekerjaan yang berat, melelahkan dan belum tentu hasilnya, tetapi tetap dijalani, karena baginya selalu ada rejekinya Gusti Allah yang menjadi bagiannya. Dia tetap mempunyai persangkaan baik kepada Gusti Allah, yakin setiap saat.

Di sela-sela kerja kerasnya, rupanya shalat tetap tak dilupakannya. Bandingkan dengan mereka yang dalam kaca mata umum hidupnya lebih enak, apakah shalat masih tetap dijaga ? Yang sedang nglencer atau berwisata yang tak ada sedikitpun kesulitan, tetapkah menjaga shalat ? Atau kemarin sewaktu Ramadhan, yang sedang beracara berbuka puasa di resto-resto atau di mal-mal, tetapkah menjaga shalatnya ? Atau shalat hanya mendapat sedikit bagian di ujung waktu dari sebagian besar waktu yang habis untuk menuntaskan dendam karena sekian jam tak makan ?

Betapa sulit untuk selalu berbaik sangka kepada Gusti Allah, yakin setiap saat kepadaNya, masih banyak takutnya, belum bisa sumeleh. Saya sendiri masih takut tak bisa menyekolahkan anak, takut tak bisa menyenangkan anak isteri, takut tak bisa hidup enak, takut tak bisa ini tak bisa itu dan sebagainya. Pedagang asongan itu rupanya menjadi cermin dari wajah kekerdilan jiwa saya. Dia tak merendah di hadapan makhluk hanya dengan menengadahkan tangan saja, melainkan tetap berdiri tegak dengan menggerakkan tangannya (ngobahke tangan) sebagai sarana untuk terus berupaya menghidupkan hidupnya.

Demikianlah.

Semoga saya dan Panjengan semua DImampuKAN untuk YAKIN SETIAP SAAT pada Gusti ALLAH dan DIgerakKANNYA pula untuk terus meyambungkan hati padaNYA.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger