Home » » Di balik EKSPRESI …

Di balik EKSPRESI …

Written By BAGUS herwindro on May 16, 2013 | May 16, 2013

Tiba-tiba saja teringat pengamatan tentang diri sendiri sekaligus sambil lalu pengamatan tentang orang-orang sekitar saat terjebak dalam situasi yang dikatakan “tidak” mengenakkan.

Berbagai situasi yang tidak mengenakkan mungkin sering dialami oleh banyak orang, seperti terjebak kemacetan yang panjang, berada dalam antrian yang mengular, menunggu jadual keberangkatan yang molor, menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, terkena imbas prilaku seseorang yang kurang baik, menghadapi tekanan atasan di tempat kerja, merasakan kenakalan anak-anaknya atau apa pun dalam situasi yang lain. Yang jelas, banyak orang merasakan situasi yang sama, namun yang membedakan adalah respon dari masing-masing orang terhadap situasi yang sedang melingkupinya.

Manusia, karena mempunyai unsur api, maka sebagaimana api dia juga reaktif, dalam arti bahwa api itu sangat mudah bereaksi terhadap bahan-bahan yang semakin memperbesar nyalanya atau pun yang justru memadamkannya. Manusia pun seperti itu, saat dia tidak waspada mejaga nyala api dalam dirinya dengan kadar yang cukup, maka dia akan selalu reaktif dalam merespon keadaan / situasi yang melingkupinya, hanya saja reaksinya biasanya cenderung negatif dan yang paling sering terlontar adalah keluhan, kekecewaan dan kemarahan karena tidak sesuai dengan keinginannya.

Hujan, katanya hujan. Panas, katanya panas. Begitu seterusnya, langsung terlontar keluhan dari lisannya dan itu adalah saya, kalau Panjenengan saya yakin tidak…. tidak beda maksudnya, he… he.. he…

Dari berbagai situasi, pengamatan paling mudah dengan waktu yang cukup lama dan meliputi banyak orang adalah saat menunggu dalam suatu  antrian, apa pun itu. Kalau tempatnya nyaman, bersih dan harum seperti di Bank, mungkin orang-orang tidak begitu reaktif apalagi karena di bank-bank tertentu banyak pemandangan indah (tellernya cantik-cantik he… he… he…). Namun saat antrian itu berada di tempat yang berkebalikan dari itu, bisa dilihat bahwa orang-orang begitu mudahnya untuk menjadi reaktif.

Alhamdulillah, di antrian mana pun sedikit banyak saya jadikan ajang berlatih menjaga perasaan dan mengendalikan pikiran (maaf ya… nyombong dikit) agar tidak reaktif dalam arti ya… dinikmati saja.

Kemarin juga begitu, antri beli tiket Kereta ekonomi jurusan Yogya-Surabaya untuk bulan Agustus besok. Antrian belum terlalu panjang, orang-orangnya Alhamdulillah bisa tertib meski udara dalam ruangan cukup memaksa keringat keluar dari tubuh, maklumlah Surabaya panasnya memang urakan. Tiba giliran di depan loket, menyerahkan slip pemesanan tiket, ternyata total tarifnya sesuai jumlah yang saya pesan melebihi uang yang saya bawa yang menurut perhitungan saya sebelumnya telah mencukupi. Di dompet untuk tiket cuma ada tiga ratus ribu dan itu kurang, ya sudahlah keluar antrian, Alhamdulillah dengan gembira, bisa menertawakan diri sendiri karena tidak antisipatif. Solusinya ya cari ATM, jauh juga rasanya karena jalan kaki, hampir satu kilometer, sambil telpon mamanya anak-anak menceritakan kejadian tersebut dengan saling menertawakan gembira. Singkatnya, setelah mengambil kekurangannya, mengulang lagi antriannya yang sudah lebih panjang dari sebelumnya. He… he… nasib :).

Mengawali antrian sambil terus mewasapadai diri sendiri, setelah beres, baru belajar dan bercermin pada mereka yang ada di sekitar. Ada yang asyik dengan HPnya, ada yang ngobrol santai, ada juga yang tidak bisa diam, tengok kiri kanan belakang, entah apa yang ditengok. Ada juga yang cemberut, wis… pokoknya macam-macamlah. Energi yang memancar keluar dari diri mereka masing-masing pun berbeda, ada yang biasa-biasa saja, ada yang sejuk (bagi yang tetap hening dalam dirinya) dan ada pula yang kacau melelahkan (mereka yang gelisah, marah, terburu-buru dan yang perasaannya galau karena terseret pikirannya sendiri).

Namun ada satu orang yang membuat saya merasa mak JLEB hingga akhirnya menulis apa yang Panjenengan terpaksa baca ini.

Satu orang ini persis di belakang saya, seorang anak muda sebaya saya mungkin dengan usia yang tak terpaut jauh, paling hanya sekitar lima belas tahunan saja selisihnya dengan usia saya. Lebih tampan dia sedikit, saya yang banyak he… he… he.. Auranya terasa tidak enak, bahasa tubuhnya mengekspresikan kegalauannya, bolak balik bergeser ke kanan sambil mendongakkan kepalanya melihat ke arah loket. “ASTAGHFIRULLAH…. satu aja kok gak selesai-selesai sih… !!!”, demikian yang terlontar dari lisannya.

MAK JLEB. Tidak membahas dia yang saya kisahkan itu, tetapi lebih ke diri saya sendiri, bercermin, ngilo gitoké déwé.

Rasanya saya sering mengucapkan astaghfirullah atau subhanallah atau masyaAllah saat merespon berbagai situasi yang “tidak” mengenakkan diri saya, namun kali ini seperti disentil dan diperolok oleh Gusti Allah, sudahkah saat saya mengucapkan secara lisan asma Allah tersebut kesadaran hati saya hadir di hadapanNYA ? Sudahkah hati saya menyadari makna di balik ucapan itu ? Bagaimanakah kondisi perasaan saya saat mengucapkan itu ? Kenapa saya tidak pernah mengucapkan alhamdulillah pada situasi yang “tidak” mengenakkan saya ?

Ternyata dan memang nyatanya, saya mengucapkan kalimat-kalimat itu tanpa kesadaran diri. Ternyata dan kenyataanya, saya jauh dari memaknai apa yang saya ucapkan.
Ternyata dan faktanya, saya sama sekali tidak hadir di hadapanNYA saat saya lisankan asmaNYA.
Ternyata dan demikianlah realitanya, seluruh kalimat baik itu hanya sekedar ekspresi keluhan dan kekecewaan nafsu saya yang sama sekali tidak rela dengan situasi yang sedang melingkupi diri saya.

Saya dulu sering misuh alias mengumpat cara Surabaya (jan**k, tiiitttt~sensor), bukan dengan gembira melainkan dengan amarah dan kebencian. Kelihatannya saat saya mengucap istighfar atau tasbih atau yang lainnya, kelihatannya lebih baik dan lebih relijius dibandingkan dengan mengumpat, namun di balik itu saya pikir tak ada bedanya dengan mengumpat itu tadi. Sebab di balik kedua hal yang kelihatan bertentangan tersebut, saya merasakan ada vibrasi perasaan yang sama, yaitu kekecewaan, kegelisahan, keluhan dan kemarahan karena apa yang sedang terjadi tidak sesuai dengan keinginan saya, yaitu sesuatu yang saya anggap “enak / nyaman / mudah / untung / yang lainnya”.

[Semoga saja saya dan Panjenengan, jangan sampai sekalipun mengacungkan tangan yang terkepal sambil meneriakkan asma Allah namun dengan perasaan yang diselimuti dendam, kemarahan dan kebencian. Sebab tak beda srtinya dengan mengumpat, tak lebih dari itu.]

Lagi-lagi, apa yang ada di dalam lebih utama dan menentukan dari apa yang tampak di luar. Apa yang di balik ekspresi itulah yang menentukan nilainya. Maka tak bisa tidak, harus terus berusaha, belajar dan melatih diri untuk memuliakan akhlak.

Ah… ternyata harus lebih banyak lagi beristighfar, bahkan istighfar saya itu sendiri masih harus banyak-banyak pula diistighfari.

Semoga DImampuKAN. Aamiin.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger