Home » » LARASATI

LARASATI

Written By BAGUS herwindro on Dec 18, 2012 | December 18, 2012

Bagi Panjenengan penggemar grup musik DEWA pasti kenal dengan salah satu lagunya yang berjudul LARASATI. Cukup enak didengar walau bukan merupakan lagu favorit saya. Namun demikian, tokoh Larasati ini sedikit mengguratkan kesan di hati saya walau selama hidup saya sampai dengan saat ini, tak sekalipun saya mempunyai seorang teman atau seorang kekasih yang bernama Larasati tetapi kalau saudaranya yaitu yang bernama LARAHATI alias lārā ati alias sakit hati sudah kenal lama, bahkan sering singgah di hati saya.

Ya… dia itu lara hati alias sakit hati. Saat mendengar kata itu, yang ada dalam lintasan pikiran saya adalah kondisi perasaan yang sedang diliputi amarah dan amarah ini setelah saya interogasi berulang kali setelah dia berkelit pula dengan seribu alibinya, ternyata berujung pada satu hal yaitu karena AKUku tak diutamakan oleh dia, siapa pun itu.

Kebenaran yang KUyakini dilanggarnya. OmonganKU tak didengarnya. MilikKU diambilnya. KenyamananKU diusik olehnya. BagianKU tak diberikannya. HakKU tak diperhatikannya. TradisiKU disesatkannya. DiriKU dilecehkannya. CustomerKU di-by pass olehnya. KeinginanKU tak dipenuhinya. AjakanKU tak digubrisnya. CintaKU ditolaknya. JasaKU tak dihargainya. KepemimpinanKU diremehkannya. Kelakuannya tak KUsuka. Demikian sebagainya dan demikian pula seterusnya.

Semestinya saat KU-KU seperti itu muncul, harus kita kejar dengan berbagai pertanyaan tentang dasar dari munculnya amarah yang menyebabkan sakit hati itu, sampai benar-benar amarah yang muncul itu adalah marah yang benar bukan sekedar amarah. Namun ini perlu kejujuran dan keberanian untuk mengakui kata hati terdalam kita sendiri. Kalau tak demikian ya percuma, sebab yang keluar lagi-lagi adalah alibi bahkan atas nama Tuhan sekali pun.

Sebuah contoh sederhana adalah misalnya saya mempunyai seorang sahabat yang pernah suatu saat memberikan sebuah atau suatu benda sebagai tanda cinta seorang sahabat. Saya pun mempersepsikan bahwa benda tersebut sebagai merupakan simbol persahabatan saya dengannya dan saya pajang di tempat yang mudah terlihat. Suatu saat, karena keteledoran, ada seseorang [bisa siapa pun] yang menyenggolnya hingga benda tersebut terjatuh dan pecah atau rusak. Saya pun marah BESAR. Permintaan maafnya saya tolak tanpa dimasak alias saya tolak mentah-mentah. Caci maki, sumpah serapah, mungkin katanya orang Jawa entek amek kurang golek kemarahan saya, bisa jadi berujung pada penganiayaan. Saya beralasan bahwa bagaimana pertanggungjawaban saya kepada sahabat yang telah memberi benda tersebut, barangKU yang merupakan simbol persahabatanKU engkau rusakkan. Nah mestinya dalam kondisi marah dan sakit hati seperti itu, saya harus mempunyai keberanian dan kejujuran untuk menginterogasi diri saya sendiri dan jawabnya pun sebenarnya sederhana, hanya YA dan TIDAK. Kalau kesengajaan merusak adalah sebuah kesalahan, lalu apakah ketidaksengajaan juga merupakan suatu kesalahan ? Kalau kemarahan sudah dilampiaskan, apakah keadaan bisa kembali seperti semula ? Kalau benda yang merupakan symbol persahabatan itu rusak, apakah berarti makna persahabatan itu pun ikut rusak juga ? Kalau toh benda itu tetap utuh, apakah diriku yang saat ini memilikinya juga akan bisa tetap memilikinya, ataukah diriku yang lebih dulu rusak dimangsa waktu ?

Maka akhirnya, diri saya sendirilah yang bisa menyimpulkan apakah sakit hati saya itu perlu atau kemarahan saya harus dipuaskan atau apakah dicukupkan dengan menyikapinya dengan perasaan dan penalaran yang bijak.

Belajar, kenal dan paham tentang sebenar-benarnya Getaran RASA "ya" dan "tidak" di dalam diri sendiri, merupakan proses untuk menjadi dan tetap menjadi MANUSIA.

IYA ya IYA, TIDAK ya TIDAK. Sesederhana itu namun menjadi tak sederhana saat kita tak mau mengenalinya, hingga "salah" bisa jadi di"benar"kan demikian sebaliknya, hingga berdoa bisa bermakna memaksa, hingga ibadah menjadi nafsu, hingga putus asa dimaknai pasrah, demikian seterusnya dan demikian sebaginya.

Sungguh, saya sangat bebas untuk marah semarah-marahnya, namun tak pernah bebas untuk menghindari akibat dari kemarahan saya.

Kadang, marah itu memang harus karena marah itu merupakan salah satu satu metode komunikasi, namun semestinya harus tanpa amarah yang menyakiti hati dan juga berpotensi menjadi sakit hati. Itulah yang masih sulit.

Saya masih sering kalah oleh amarah saya sendiri dan masih sering sakit hati, semoga tidak demikian dengan Panjenengan.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger