Home » , » Kéré – Ngéré

Kéré – Ngéré

Written By BAGUS herwindro on Feb 10, 2012 | February 10, 2012

Kéré, dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan idiom “orang yang tidak punya” alias fakir, dalam arti sempit sering diidentikkan dengan fakir harta. Kalau ngéré, merupakan kata kerja aktif dari kéré yang berarti dengan sengaja menjadi orang yang tidak punya.


-----------------

Bermula dari obrolan di pinggir jalan, terbayang di benak saya, andai saya memiliki seorang pujaan hati yang dalam “pengakuan saya” sangat saya cintai, entah dalam “kenyataannya”. Terpisah jarak, ruang dan waktu. Bagi Sang Pujaan, saya tiadalah berarti apa-apa. Sesungguhnya memang demikian, sebab saya bisa dikatakan kéré itu tadi dalam arti luas, ya harta, ya ilmu, ya akhlaq, ya amal dan seterusnya.

Cinta sejati tidak perlu pengorbanan. Karena cinta adalah persembahan, titik. Jangan ngomong cinta kalo masih merasa berkorban, jangan ngomong cinta kalo masih terbebani. Sekali lagi, CINTA ADALAH PERSEMBAHAN, TIDAK ADA PENGORBANAN DALAM CINTA SEJATI. Yang dianggap pengorbanan oleh kebanyakan orang, sesungguhnya adalah perjuangan untuk bisa mempersembahkan.”

Sang Pujaan tak memerlukan ilmu saya, sebab saya memang tak punya yang darinyalah nanti saya akan mendapatkan. Sang Pujaan juga sama sekali tak memerlukan harta saya, itu kalau pun saya punya harta, tapi Sang Pujaan meminta bukti cinta saya dengan saya mengirim kepada Sang Pujaan sejumlah nominal sesuai kemantaban hati saya secara periodik. Itu pun tidak boleh secara langsung, harus melalui lembaga keuangan yang telah ditunjuk.

Andai lagi, saya tak memiliki sebuah akun pun di sebuah lembaga keuangan, berarti saya harus membuat sebuah akun, walau nantinya juga belum tentu terisi, sebab kondisi saya memang pas-pasan. Itu seandainya.

Okelah kalau begitu. Saya visualisasikan lagi, sebuah akun saya buat.

Jaman terus bergulir, roda perekonomian terus berputar dan tak mungkin lepas dari adanya lembaga keuangan baik bank maupun yang bukan bank. Membuat sebuah akun, menjadikan saya berani menginjakkan kaki di sebuag gedung bagus, rapi, dingin dan nyaman. Membuat saya sering salah tingkah karena sapaan dari mereka yang ada di dalamnya yang bagi saya terlihat terlalu ramah dan berlebihan, sebab saya merasa tak pantas diperlakukan seperti itu. Membuat saya juga berani menyakan tentang hal-hal yang belum saya mengerti sebelumnya.

Sebuah mindset baru terbentuk, mindset sukses dengan parameter kemampuan ekonomi, seiring dengan kesadaran untuk meyakini bahwa dengan memiliki sebuah akun perbankan, saya nantinya juga diberi kemampuan untuk bisa mengisi akun saya sebab saya sedang mengawali sebuah keberlimpahan dalam kemakmuran, kesejahteraan dan kemanfaatan serta keberkahan.

Ooo… ternyata saya juga harus mulai belajar akrab dengan teknologi yang juga terus menggelinding. Transaksi perbankan bisa dilakukan hanya dengan sms bahkan lebih mudah bila dilakukan dengan meggunakan fasilitas internet banking.

Kini saatnya mencoba untuk merasakan persembahan cinta saya yang tak seberepa nilainya.

Saya tekan tombol-tombol di HP saya mencoba fasilitas sms banking, mudah, di manapun bisa, tetapi rasanya nilai juangnya tak ada.
Saya mencoba belajar menggunakan internet banking, meyenangkan ternyata, layaknya datang ke kantor bank, sangat-sangat mudah, tetapi rasanya nilai juangnya juga tak ada.

Rasanya lebih mantab memanfaatkan fasilitas ATM, saya harus berjalan mencari lokasi ATM yang terdekat, tinggal memasukkan kartu ATM, tekan sana tekan sini, selesai sudah. Mudah, tetapi rasanya lebih mantab bila dibandingkan sekedar sms atau pun internetan, tentu saja dalam skala perjuangan untuk persembahan cinta.

Tapi rasa paling mantab ya yang ini, harus sejenak meluangkan waktu mencari posisi bank yang terdekat, menembus kemacetan lalu lintas kalau memang sedang padat, kemudian langsung antri setelah sebelumnya mengisi formulir isian setoran. Detik demi detik dilalui sampai akhirnya giliran pun tiba maju ke hadapan teller dan menyerahkan slip setoran, bismillah, seakan menghadap langsung kepada Sang Pujaan.

Ooo… rupanya rangkaian sejak awal dan kemudian terus berulang secara periodik ini bila dilakukan dengan kesadaran merupakan salah satu latihan disiplin spiritual. Sebuah bagian dari olah ruhani, sebagai sebuah pengejawantahan menyambungkan rasa.

Sebuah lelaku, sebuah tirakat, sebuah riyadhoh sesuai kekinian jaman ini.

-----------------

Teringat dua dekade yang lalu, seorang Guru Mulia menguji, melatih dan mendidik muridnya untuk menanggalkan keAKUannya sekaligus menancapkan TAUHID yang lurus bukan yang miring dalam arti benar-benar yakin kepada jaminan Tuhan, dengan lelaku ngéré,  menyisir pesisir pantai yang mengelilingi pulau Jawa, tanpa bekal apapun kecuali pakaian yang melekat di badan. Itu pun ada yang harus mengulanginya lagi karena sudah “merasa bisa” menjalani ngéré itu sendiri, sebuah perasaan yang sangat lembut, halus dan tak terlihat.

Ooo… sebuah hal yang bila diperbandingkan terasa sangat berat, untuk mendapatkan stempel cinta.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger