Home » » Kok malah jauh ?

Kok malah jauh ?

Written By BAGUS herwindro on Jan 2, 2012 | January 02, 2012

“Cak…. yok opo Cak, urip kok cik angéllé !!!” seru Srundul tiba-tiba dalam sebuah obrolan di beranda rumah Cak ZhudhrunH malam itu bersama si Semprul dan Ning Ayu.

“Ndul… ndul… kon iku urip kok sambatan ae… ada apa to ?, jawab Cak DhrunH

“Sumpek aku Cak, lihat berbagai ragam berita di negeri ini yang ndak ada kejelasan sama sekali. Rasanya ada pemerintah atau pun gak ada ternyata tak ada bedanya. Rakyat kecil macam aku, makin hari makin susah. Sementara yang besar-besar yang seharusnya posisinya di bawah rakyat malah bancak’an seenak-enaknya sendiri. Negeri ini dijual habis dan dibagi-bagi antar mereka sendiri. Rebutan tiada henti. Atas nama uang yang sudah menjadi tuhan dalam kehidupan mereka, rakyat kecil macam aku ini kalau dianggap ngrecoki, halal darahku untuk ditumpahkan, wajib hukumnya nyawa dipisah dari raga bahkan dengan cara yang keji layaknya bukan manusia. Penegakan hukum hanya menjadi mimpi di siang bolong, kesejahteraan rakyat secara keseluruhan hanya sekedar bualan omong kosong….”, dengan tutur yang emosional Srundul menumpahkan perasaan hatinya, “Orang miskin gak boleh sakit, sebab biaya berobat mahal. Sekolah bagus juga mahal, apalagi sampai perguruan tinggi, tak terjangkau biayanya. Belum lagi agama dijual murah dan dijadikan dagangan….!!!”

“He… he… he…”, Cak DhrunH hanya tertawa saja mendengarnya, “Masih kalah sama Semprul kamu Ndul, meskipun rejekinya lebih kacau dari kamu, dia gak sampai sumpek seperti itu.”

“Lha wong AKU kok…”, kata Semprul menyahut umpan yang diberikan Cak Dhrunh.

“Suombongé rék, ati-ati Mprul, sombong itu bolonya setan lho…”, jawab si Srundul sewot.

“Ha… ha.. ha… kan memang aku sudah lama jadi bolomu.”, sahut si Semprul tak mau kalah, maka serentak pun mereka spontan tertawa semua.

Tiba-tiba Ning Ayu dengan senyum manisnya yang selalu terkembang berkata, “Cak Ndul… Kang Semprul itu gak salah kalo dia sombong, sebab kelebihannya ya cuman sombong itu, lha kalo Kang Semprul ndak sombong, kan ndak punya kelebihan apa-apa dia….”

“Huasemmm tenan kowe nDuk cah ayu… hahahahahahaha….. “, sahut si Semprul.

“Ya gini ini lho yang bikin aku selalu kangen sama kalian…”, kata Cak DhrunH, “Tiap ketemu pasti nyék-nyék-an, itu tandanya ada kemesraan di hati kita di antara kita, sebab tanpa ada kemesraan yang terjalin, mustahil itu bisa terjadi.”

“Sebentar Cak Dhrunh, biar Kang Semprul menjelasakan kepada kita kenapa dia kok tidak ikut sumpek sebagaimana yang dialami Cak Srundul, ayo Kang monggo…”, kata Ning Ayu.

Namun saat itu dari dalam rumah keluar sang nyonya DhrunH dengan membawa nampan berisi beberapa gelas wedhang kopi dan beberapa macam camilan ala kadarnya, “Ayo monggo diunjuk…”

“Ma… makasih yo… jangan lupa lho nanti….”, kata Cak DhrunH kepada permaisurinya sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Opo se… ?”, jawab nyonya DhrunH pula.

“Ini lho tagihannya anak-anak nanti kalo pulang – kopi sak jajanné, hahahahaha……”, jawab Cak Dhrunh.

“Dasar … !!!”, kata nyonya DhrunH tersenyum sambil mencubit lengan si Cacak.

“Pancêt ae sampeyan iku Cak.”, kata si Srundul.

“Ayo-ayo monggo disruput, jangan lupa dawuh Yaine, kirim Fatihah dulu ke Syaikh Asy Syadzili sebagai ungkapan terima kasih kita kepada Beliau sekaligus tanda syukur kita kepada Gusti Allah.”, Cak DhrunH mengingatkan mereka.

Setelah satu dua sruputan yang diiringi kebulan asap yang kian memekat dari dua ahli hisap, yaitu Srundul dan Semprul, Ning Ayu melanjutkan, “Ayo Kang Semprul dilanjut…”.

“Halah… kalau aku gitu tahu diri kok. Negara ruwet kayak begini, ya aku gak mampu mengubahnya. Jangankan diriku, coba siapa tokoh di negeri ini yang bisa mengubah Negara ini ? Gak bakalan ada. Negara ini adalah wajah kita semua, diakui atau pun tidak, kita semua ikut andil di dalamnya, cuman seberapa jauh kadar keakutannya itulah yang membedakan. Kita semua teriak maling dengan suara yang paling keras dan menggelegar, namun diam-diam kita sendiri mengidamkan suatu saat ingin menjadi maling. Jadi ya.. tinggal menunggu waktu, akan tiba saatnya Gusti Allah sendiri yang akan mengubahnya dengan caraNya.”, urai Kang Semprul.

“Tapi Kang, bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mengubahnya  ?”, sanggah Ning Ayu.

“Ya benar, tetapi tidak mengubah kan berarti juga mengubah Ning…”, jawabKang Semprul.

“Kok bisa Prul ?”, tanya si Srundul sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Bukankah di dunia ini segala sesuatu selalu berpasangan dan bergiliran pula ? Siang malam, panas dingin, cepat lambat, baik buruk dan seterusnya dan pergiliran di antaranya itulah proses yang kemudian disebut sebagai perubahan. Dalam hubungannya dengan nasib, perubahan itu sendiri selalu dikontradiksikan antara baik dan buruk.

Dalam bahasanya Gusti Allah, perubahan itu mutlak ada di tanganNya, tetapi Gusti Allah menyampaikan inrformasi kepada manusia dalam bahasa dan logika manusia yang berisi tuntutan bahwa untuk mengubah nasibnya maka manusia itu sendiri harus berusaha mengubahnya yang kemudian Gusti Allah menjamin akan mengubahnya pula.

Nah dalam kaitannya dengan kondisi kekinian amburadulnya negeri ini yang aku bilang nanti Gusti Allah sendiri yang akan mengubahnya maka tidak mau berubah sama artinga dengan mengubahnya.

Dalam kondisi yang amburadul bin ruwet, berarti posisinya berada pada titik yang buruk. Keburukan yang terjadi disebabkan karena tidak adanya kendali nafsu, padahal saat nafsu tidak dikendalikan, nafsu itu akan selalu menuntut lebih, lebih dan lebih lagi. Jadi manakala tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik berarti saat itu juga terjadi perubahan ke arah yang lebih buruk  walaupun tanpa disadari dan Gusti Allah pun akan mengubah ke lebih buruk lagi. Mungkin malah dipercepat ke tingkat yang paling gelap sehingga sunatullahNya turun dan ini yang pasti akan menggetarkan jantung setiap orang.”

Cak DhrunH menimpali, “Kira-kira menurut kamu Prul, kenapa kok menggetarkan ?”

“Ya karena kita semua ini manusia Cak. Manusia ya harus punya kesadaran kemanusiaannya, bukan manusia dengan kesadaran binatang yang dengan segala kebuasannya selalu berusaha menyenangkan dan memuaskan dirinya sendiri. Bukan pula manusia yang berlagak tuhan. Maka manakalan manusia tertidur jiwa kemanusiannya atau bahkan mati, harus digetarkan agar terbangun atau hidup kembali. Kalau perlu getaran itu bukan sekedar getaran melainkan harus goncangan.”, jawab Semprul.

“Ya… ya… ya… dan itu yang ngeri…”, lanjut Cak DhrunH dengan mata yang menerawang jauh yang mungkin membayangkan kengerian yang bisa terjadi seperti yang dikatakannya.

“Paling gampang, paling sederhana, paling mendasar, bagaimana sikap kita Cak dalam merespon setiap keadaan yang terjadi di sekeliling kita ?”, tanya Srundul.

“Sebenarnya mudah saja Ndul, maksudku mudah kalau hanya sekedar diucapkan, namun sulit juga kalau untuk diterapkan. Kira-kira begini, kalau kita sadar kalau kita muslim berarti ya ouput kita harus selamat dan meyelamatkan apa pun dan siapa pun dalam lingkup yang seluas-luasnya, silahkan kita ukur diri kita masing-masing, sudahkah kita muslim ? Kalau kita sadar bahwa kita mukmin, lihat saja parameternya, sudahkan output kita aman dan mengamankan harta, martabat dan jiwa apa pun dan siapa pun dalam lingkup yang seluas-luasnya ?”

Semprul menyahut,”Bener sampeyan Cak, parameternya sederhana tapi mendasar, penerapannya itu lho yang berat.”

Cak DhrunH melanjutkan, “Untuk sesuatu yang berat itulah hendaknya kita harus selalu menyandarkan diri kepada yang bisa memampukan kita. Tak ada sandaran lain yang melebihi Gusti Allah. Maka itu dalam sehari semalam minimal kita selalu menyebut permohonan untuk diberi jalan yang lurus.”

“Maksudnya piye to Cak, jalan yang lurus itu ?”, tanaya Semprul.

“Ee… begini”, Cak DhrunH menjawab dengan tenggang waktu yang agak lama seakan ingin memilih kata yang tepat dan sederhana untuk menyampiakan maksudnya, “Makna dari Jalan Yang Lurus itu aku sendiri tidak memahaminya secara tepat, tapi bagiku kira-kira begini…”

Belum selesai Cak DhrunH menuntaskan kalimatnya, tiba-tiba Ning Ayu menyela,”Cak-cak… sampeyan itu kok mesti bilang kira-kira… hahahahaha…..”

“Ya.. tahu sendirilah Ning, aku ini kan awam, bukan ahli qur’an bukan pula ahli hadits, bukan ustadz, bukan pula Gus apalagi Kyai. Jadi aku sadar diri akan kapasitas pribadiku, kalau memahami sesuatu itu kira-kira begitu menurut aku. Jadi dengan kira-kira itu aku tidak memutlakkan diri bahwa aku benar, mungkin ada benarnya tapi mungkin juga lebih banyak salahnya. Makanya kalau gak sependapat ya monggo mbok aku ini diajari yang benar. Soalnya mereka yang ilmunya tinggi-tinggi itu sering bilang kalau pemahamanku itu ndak mutu ndak berisi… Ndeso…. he… he… he…”

“Ya sudahlah Cak, yang penting kan outputnya baik dan bisa memberikan manfaat kepada yang lain. Ayo Cak dilanjut tentang jalan yang lurus tadi.”, kata Ning Ayu.

“Ibarat berjalan, jalan yang lurus membuat langkah kita bisa ajeg atau konstan. Bandingkan bila jalan yang ditempuh penuh kelokan, maka saat menempuhnya mungkin kita perlu mengurangi kecepatan saat akan menikung atau bahkan perlu berhenti dulu melihat keadaan saat tikungannya begitu tajam sehingga pandangan ke depan tidak bebas. Maka, menurut penalaranku, jalan yang lurus itu adalah jalan yang ajeg, jalan yang konstan atau jalan keistiqomahan.
Muslim yang selalu selamat dan menyelamatkan, mukmin yang selalu aman dan mengamankan, tidak bisa lain harus menempuhnya dengan jalan keistiqomahan. Keistiqomahan dalam hal apa ? Tentu saja sebagaimana diperintahkan oleh Gusti Allah yaitu dalam hal kebaikan. Seperti yang dikatakan Semprul tadi, harus mengawali perubahan sebagaimana yang dituntut. Perubahan dengan selalu beramal sholih, selalu berbuat kebaikan si semua hal, di segala tempat dan di setiap waktu.

Jadi intinya, dalam segala keruwetan yang sedang terjadi, sebaiknya dan memang seharusnyalah jangan pernah menuntut orang lain untuk berubah, namun mari kita awali dari diri kita sendiri. Berusaha mengistiqomahkan selalu berbuat kebaikan sebagai prasyarat terjadinya perubahan nasib dalam arti luas menjadi lebih baik lagi juga dalam arti yang luas.

Perbuatan baik itu harus berlandaskan pada akhlaq, sebab dawuhnya Yai Mursyid, akhlaq merupakan pondasi inti kehidupan.”

“Kira-kira memahaminya seperti apa Cak ?”, tanya Ning Ayu.

“Ah… kau, kok ndisiki mendahuluiku ngomong kira-kira… hahahah… Bukankah Kanjeng Nabi itu diutus oleh Gustia Allah, salah satu tugasnya adalah memperbaiki akhlaq. Kepada Gusti Allah harus berakhlaq, kepada Kanjeng Nabi harus berakhlaq, kepada Guru harus berakhlaq, kepada orang tua, anak, sesame, alam dan seterusnya, semua harus berakhlaq. Kenapa kok akhlaq ? Sebab tanpa akhlaq kehidupan itu akan terasa kering, manusia nanti tak ubahnya seperti sebuah mesin atau sebuah robot yang hanya akan melaksanakan instruksi yang sudah tertanam dalam mesinnya dan takkan pernah lebih dari itu.

Jadi umpama shalat yang penting sudah melaksanakan seluruh syarat dan rukun sholat ya sudah, itu saja. Namun dengan akhlaq kepada Gusti Allah, seseorang pasti akan melihat hatinya, apakah saat shalat dan setelah shalat hatinya juga sudah diusahakan selalu menghadapnya ? Kira-kira seperti itu.”

“Apakah seperti juga Sayyidina Abu Bakar yang menyerahkan 100% hartanya dan bukan hanya 2,5% itu ?”, tanya Srundul.

“Ya… pastinyalah, sebab Sayyidina Abu Bakar menyadari bahwa tidak sedikitpun memiliki saham atas kehidupan yang dianugerahkan oleh Gusti Allah. Sahamnya 100% milik Allah, maka Sayyidina Abu Bakar berakhlaq kepada Allah dengan menyerahkan pula 100% hartanya. Begitukah kira-kira ?”, lanjut si Semprul.

Cak Dhrunh melanjutkan,”Ya… memang begitulah, maka akhlaq itu pun selalu berlandaskan cinta. Tanpa cinta mustahil akhlaq akan terbentuk. Cinta kepada sang pembawa risalah, Rasulullah Muhammad dan nanti pada puncaknya cinta kepada sang pemilik risalah yaitu Gusti Allah. Maka saat ada saudara kita yang hidup dalam kemiskinan yang kelaparan misalnya, tidak membantu pun tidak masalah sebab syariat tidak mengharuskan hal itu, namun saat akhlaq yang berbicara tentunya tidaklah demikian. Kanjeng Nabi sangat mencintai orang yang miskin, mereka juga makhluknya Gusti Allah dan bersamaa mereka Gusti Allah hadir sebagai jalan bagi yang berlebih untuk dapat berbagi. Dengan akhlaq, seseorang akan berbagi, akan mencari solusi meskipun tidak diperintahkan. Melakukan yang diperintahkan itu berarti berbuat kebaikan, namun dengan akhlaq output kebaikannya pasti lebih, lebih luas, lebih dalam dan lebih matang. Tidak sekedar mencukupi, namun pasti mengangkat, menghebatkan, meninggikan, memampukan dan memuliakan.”

“Jadi benang merahnya gini ya Cak… selalu berusaha agar outputnya adalah kebaikan, kebaikan itu dilandasi akhlaq dan akhlaq itu sendiri dilandasi cinta. Kebaikan itu sendiri tidak hanya sekedar baik yang setara dengan apa yang telah diperintahkan, namun intensitas kebaikan itu harus lebih luas, lebih dalam dan lebih matang agar kehidupan ini menjadi mulia sebagaimana dikehendaki oleh Gusti Allah ?”, simpul si Semprul.

“Ya begitulah kira-kira. Berbuat baik itu memang sulit, pasti berat, tapi bisa diusahakan, terlebih lagi kalau ada pelopornya dan kalau ada contohnya. Namun yang lebih sulit dan berat lagi adalah membiasakan perbuatan baik itu sendiri, karena itulah jalan keistiqomahan, jalan yang lurus seperti tadi aku katakana, jalan yang selalu kita pinta kepada Gusti Allah.”, jawab Cak DhrunH.

Sambil senyum-senyum dengan senyumnya yang selalu manis itu, Ning Ayu berkata, “Andai Tuhan itu tak lagi mewajibkan shalat, aku pasti senang. Umpama Allah itu menghapus puasa romadhon, aku pasti gembira dan seandaianya Guruku mengakuiku dan menjamin diriku sebagai muridnya tanpa membebankan kewajiban taat padanya maka aku pasti tertawa bahagia…”.

Belum selesai Ning Ayu berkata-kata dengan penuh ekspresi, Cak DhrunH memotong,”Itulah nilai kemuliaannya !”

Dengan tak sabar Srundul menukas, ”Kok bisa Cak ?!”

Semprul pun langsung menyahut, “Ya bisa nDul, sebab yang dikatakan Ning Ayu itu adalah wajah kita semua. Pada umumnya kita selalu mearasa terbebani untuk beribadah, untuk berbuat kebaikan. Wiridan itu saja lho… pasti ada rasa malas, pasti ada rasa ingin cepat selesai kan ? Tetapi meski demikian, kita tetap melakukannya kan ? Tetap shalat, tetap puasa, tetap wiridan, tetap shodaqoh, tetap membantu sesama dan seterusnya. Saat kita merasa berat, saat kita merasa malas, saat kita merasa terbebani dan kita tetap melakukan itu semua, bukankah ada perjuangan di dalamnya untuk memaksa diri kita sendiri ? Perjuangan itulah yang mempunyai nilai kemuliaan. Dengan perjuangan itulah Allah menyematkan sedikit kemulian pada diri kita. Lha kalau kita diperintahkan melakukan yang kita senangi maka tentu saja akan mudah bagi kita, sebab tak harus berjuang memaksa diri kita sendiri.”

“Betul katamu Kang Semprul”, sahut Ning Ayu, “Maka kemuliaan itu akan semakin disematkan Allah beriring dengan perjuangan kita menguasai diri kita sendiri dari yang semula tidak suka, enggan, malas dan berat menjadi rela, tulus dan bahagia melakukannya.”

Cak DhrunH melanjutkan, “Maka dawuh Kanjeng Nabi - makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang - merupakan metode yang sangat efektif dan aplikatif sepanjang masa dalam rangka berlatih mengendalikan diri, memperluas kesadaran dan mengindahkan kehidupan.

Pertama, makan ketika lapar berarti makan saat kita benar-benar membutuhkan bukan pada saat kita menginginkannya – mengajarkan kepada kita tentang kesejatian memilah dan memilih berbagai pilihan yang tersedia. Pilihan tentang segala hal yang kita jalani dalam kehidupan kita masing-masing, tentang nilai-nilai yang kita terapkan, tentang moral, pertemanan, persuami-isterian, tentang pekerjaan, komunikasi, teknologi, sistem ekonomi, interaksi sosial, kebudayaan, penyelenggaraan Negara dan sebagainya. Ada pilihan-pilihan yang “sejati” yang menjadikan manusia tetap dengan kesadaran kemanusiaannya di antara sesamanya, yang menjadikan manusia tetap dengan kesadaran kehambaannya di hadapan Tuhannya dan yang menjadikan manusia tetap dengan kesadaran kemakhlukannya di jagad semesta. Berkebalikan dengan itu, ada juga pilihan-pilihan yang dalam kategori “senda-gurau” yang malah akan mendegradasikan manusia dari posisi makhluk yang terbaik.

Kedua, berhenti makan sebelum kenyang, berarti tidak menjadikan kenyang sebagai tujuan melainkan hanya sebagai efek samping, makan tidak mencari kenyeng namun sebagai sarana mencukupkan apa yang dibutuhkan tubuh yang memang harus dipenuhi. Maka, berhenti makan sebelum kenyang mengajarkan kepada kita agar tidak terlena memperturutkan keinginan untuk menjadikan yang semestinya bukan tujuan seperti efek samping sebuah proses, menjadi tujuan kita. Membatasi diri agar tetap menjadi diri sendiri, bukan menjadi diri yang dieksploitasi oleh sistem di luar diri kita sendiri.”

“Kalau yang pertama tadi aku agak paham Cak, tapi yang kedua itu, mbok sampeyan kasih contoh sederhana untuk memahaminya.”, sela si Semprul.

“Kira-kira begini… seseorang yang menyampaikan kebaikan sebagaimana yang disampaikan Kanjeng Nabi harus mawas diri karena boleh jadi dalam proses dakwahnya dia akan meraih popularitas. Nah di situlah dia harus berhenti, bukan berhenti berdakwah melainkan harus menghentikan keinginannya menjadikan popularitas sebagai tujuan. Popularitas hanyalah efek samping dari proses yang dijalaninya, sebagaimana kenyang yang merupakan efek samping dari proses makan. Sebab saat popular, seseorang lebih sering tidak bisa mempertahankan untuk menjadi dirinya sendiri. Populer itu pada jaman ini berarti bisa dijual, nah saat ada pihak yang membeli dirinya karena kepopulerannya, niscaya mulai saat itu dirinya tergadai, akan mengikuti apa saja yang ditentukan oleh pembelinya dan ini buahaayaaaa…… Yang harus dipopulerkan adalah ajaran kebaikannya Kanjeng Nabi, bukan dirinya. Gicu…”.

“Interupsi Cak…”, teriak Srundul sambil mengangkat tangannya laiknya anggota dewan sedang menginterupsi pimpinan sidang, “Nasibku piye Cak, aku tadi ke sini ini salah satunya mau cari utangan Cak buat modal jualan pentol.”

“Masalah utang itu gampang, yang penting konsisten, kalau hutang ya hutang, kalau minta ya minta, harus jelas. Kalau engkau minta, maka tak ada kewajiban mengembalikan, beda kalau engkau hutang, selalu terikat dengan kewajiban mengembalikan walau pun tidak diminta. Nanti saja itu, pribadi. Yang perlu ketegasanmu kali ini adalah masalah jualanmu itu … !”, kata Cak DhrunH dengan muka yang serius, bahkan dua rius.

“Memangnya apanya Cak ?”, tanya Srundul.

“Kalau jual pentol ya kamu harus konsisten, ukurannya harus besar, jangan kecil. Kalau kecil bukan pentol namanya, tapi pentiilll…. hahahahaha…..”

Sambil tertawa pula Ning Ayu berkata, “Kumatz….”

Sejenak setelah tawa mereka agak reda, si Semprul urun rembug alias sumbang saran kepada si Srundul, “nDul mbok ya dalam situasi yang prihatin ini kamu iringi dengan shalat Dhuha.”

“Sudah Prul !”, jawab si Srundul, “Tapi rasanya kok rejekiku malah jauh ya … ?”

“Hahahahaha…. sama nDul, aku dulu juga begitu, ya gitu deh… Gusti Allah itu semaunya sendiri. Hehehehehe… lha masak Gusti Allah nuruti maunya kita ??? Ndak mungkin to… lha wong Tuhan itu penyebab dari segala sebab akibat. Katanya shalat Dhuha itu bisa memperlancar rejeki, lha kok setelah berusaha mendawamkan shalat Dhuha, rejekiku sepertinya malah jauh seperti dikatakan Srundul itu. Ayo… tanya kenapa ?”, sambung Cak DhrunH.

“Iya Cak, kenapa ?”, tanya Srundul penasaran karena merasa mendapat bolo.

Sambil senyum-senyum, Cak DhrunH menoleh kepada Ning Ayu, “Ayo Ning… njenengan yang njawab sebagaimana dulu menjawab pertanyaanku yang sama. Tapi sebelum  njenengan njawab biar aku kasih tahu mereka kalau njenengan ini merupakan salah satu perempuan yang sama sekali tidak takut hantu.”

“Lho kok tahu ?”, sahut Ning Ayu.

“Iya… sebab senyummu itulah yang malah selalu menghantui diriku…. he… he… he…”, jawab Cak Dhrunh.

“Hahahahaha…. OVJ- OVJ.”, sambung si Semprul sambil ngakak.

“Ndul… bukankah dikau sejak awal dalam bimbingan Yai Mursyid sudah berniat lillahi ta’ala dalam hidupmu ?”, tanya Ning Ayu.

“Yup, bener Ning.”

“Nah, itu dia, tak ada niat kecuali ada medan pembuktian yang terhampar di depannya. Maka dengan niatmu itulah, shalat dhuha yang engkau lakukan malah seakan-akan menjauhkan rejekimu, sebab saat engkau melakukan shalat dhuha itu, yang tergambar di kesadaranmu adalahnya lancarnya rejeki dan itu yang menjadi tujuanmu. Maka bersyukurlah kalau engkau dijagaNya dengan seolah-olah rejekimu malah jauh, agar engkau tetap mengistiqomahkan shalat dhuha itu sampai apa yang dijamin oleh Allah itu sudah tidak menjadi tujuanmu. Kenyang bukanlah tujuan, tapi proses makan itulah yang menjadi kebutuhanmu. Rejeki bukanlah tujuan, tapi shalat dhuha itu sendirilah yang menjadi kebutuhanmu untuk mendekat padaNya. Nah kalau itu yang terjadi, insya Allah barulah engkau merasakan keberkahan shalat dhuha itu sendiri.

DHUHA. Bukan semata karena engkau menghadapNya lalu engkau diberi rizqi olehNya, melainkan lebih merupakan karena engkau ingat dan menghadapNya di saat manusia lain mulai sibuk dan menyibukkan diri dengan urusan dunianya maka engkau diingatNya pula dengan diberi kemudahan rizqi. NAMUN, juga bukan itu sebenarnya, akan tetapi sebab DIA mengingatmulah hingga engkau digerakkan untuk ingat dan menghadapNya dan yang demikian itu adalah tanda-tanda DIA memberikan bertambah-tambahnya keberkahan rizqimu.”



.:: Begitulah ::.

Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger