Home » » Ora mélu nduwé

Ora mélu nduwé

Written By BAGUS herwindro on Sep 8, 2011 | September 08, 2011

Menyadari kapasitas diri yang tak kunjung bisa melepaskan akuKU, tak juga selalu mampu sabar dalam segala kesempatan dan tak pula mencapai kerelaan di segala situasi, serta mengingat rasa PAHIT yang harus kuterima saat yang kuanggap diriku, kukira milikku dan kurasa aku harus ditanggalkan dari diriku, maka tak ada cara lain untk menyambutnya kecuali berusaha menyadari sejak dini dan berlatih menta hati dan oikiran untuk sedikit demi sedikit melepaskannya dengan berserah diri pada Tuhan.

Jiwa yang lemah harus dikuatkan, begitu juga denganku, dengan mantra sederhana kucoba membangkitkan elastisitas dan daya tahan terhadap berbagai macam benturan. Jiwa yang keras akan mudah dipecahkan, begitu juga jiwa yang lemah akan mudah dihancurkan. Maka melenturkannya adalah yang terbaik, agar mampu menyerap energi dari sesuatu yang membenturnya tanpa terluka sedikitpun.

Setelah mengamalkan satu mantra sakti [he… he… he…] sebagaimana pernah tak sengaja kuposting, kali ini pun kuamalkan kembali salah satu matra sakti yang lain yaitu “ora mélu nduwé” yang artinya adalah “tidak ikut memiliki”. Rupanya mantra yang satu ini manjur juga untuk mendamaikan bagian-bagian dari diriku sendiri yang sering selalu bertentangan. Namun sebenarnya fungsi utamanya adalah untuk memaksa kesadaran meminimalisir kemelekatan terhadap siapa pun dan apa pun yang hadir dalam hidupku, termasuk diriku sendiri.

[::: Apa pun - siapa pun tak ada yang abadi dalam kehidupan kita. Datang dan pergi, hilang dan kembali, lahir dan mati, beli dan jual, baik dan rusak, silih berganti tak pernah henti, akan dan selalu seperti itu. Berbesar hati itu kata kuncinya, memiliki tanpa memiliki. :::]


Seperti apa aplikasinya ?

Kira-kira begini :

Sederhana saja, misalnya sebagai orang tua pasti mempunyai kekhawatiran akan anak-anaknya saat tidak bisa mengawasi secara langsung. Khawatir berarti belum bisa benar-benar berserah diri pada Tuhan, maka untuk berdamai dengan diri sendiri, untuk bisa lebih mengarah ke rasa pasrah atau keberserahan biasanya kuucapkan dalam hati saat mencium anak-anakku ketika di pagi hari harus saling berpisah karena ada tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakan masing.masing. Ora mélu nduwé, meski anakku, namun sejatinya tidak ikut memiliki, sebab aku sebagai orang tua hanya kelewatan saja, hanya sebagai perantara saja yang menjadi sebab kehadirannya di dunia. Dijaga sendiri pun sedemikian ketatnya, kalau Gusti Allah sudah berkehendak maka pasti ada saat lalainya dalam menjaga. Dididik seperti apa pun juga mulai kecil, pasti ada kemungkinan anak memberontak pada orang tua saat telah dewasa, mengikuti kemauannya sendiri, bagai layang-layang yang mengangkasa tapi kemudian putus dari benang yang mengikatnya. Ora mélu nduwé, setiap anak akan mengikuti orbit hidupnya masing-masing sebagaimana yang ditakdirkan Gusti Allah. Wis, ayem pasrah, dititipkan kepada Gusti Allah yang sejatinya memilikinya.

Usaha/toko/perusahaan yang menjadi wadah menjemput sarana penghidupan lagi sepi order yang sangat berpotensi menimbulkan kekhawatiran masalah rejeki, ucapkan saja  ora mélu nduwé. Yang punya rejeki itu Gusti Allah, masa sih Gusti Allah itu menelantarkan diri kita  yang sudah diberi amanah untuk menafkahi keluarga ?

Punya pimpinan/bos, teman atau tetangga yang “aneh” semaunya sendiri, seenaknya sendiri, menggemaskan perasaan… ya sudahlah mau apa ? Diterima saja lha wong ora mélu nduwé, mereka berbuat seperti itu itu kan hakikinya Gusti Allah juga yang menggerakkan. Tidak akan mungkin diri kita ini bisa mengatur-atur orang lain sesuai keinginan kita sendiri.
Punya saudara yang selalu menyesakkan dada dan menguras air mata, ya sudahlah, ora mélu nduwé, Gusti Allah yang menguasai hatinya, Gusti Allah yang memiliki dirinya dan Gusti Allah pula yang hakikinya menggerakkan segala tingkah lakunya, relakan saja toh semua akan ada akhirnya. Anggap saja sing waras ngalah.

Punya suami / istri yang kemudian berpaling sampai pada taraf tidak bisa diselamatkan lagi, ya sudahlah … mau apa lagi, ora mélu nduwé, serahkan saja kembali kepada yang memilikinya. Mengeluh, marah dan sebagainya tidak akan menyelesaikan masalah, lakukan saja tahap-tahap penyelesaian masalah dengan mengusahakan solusi yang terbaik, ambil keputusan dan relakan saja. Kambing yang diikat di pohon saja bisa lepas kok, apalagi manusia yang punya banyak keinginan tapi minim kesadaran.

Merasa bisa taat dan kemudian berbangga diri apalagi berpuas diri, cepat-cepat istighfar, sebab kita ora mélu nduwé ketaatan, sebab ketaatan itu anugerahnya Gusti Allah, bisa jadi tak lama lagi akan diambil dan diganti dengan kemaksiatan, na’udzibillah.

Pokoknya di segala hal arahkan saja kesadaran dengan ucapan yang kuat dalam hati ora mélu nduwé – tidak ikut memiliki, hanya sekedar dititipi, bersykur sebab telah dipercaya untuk dititipi sehingga harus dijaga sebaik-baiknya, namun harus siap juga jika sewaktu-waktu yang menitipkan akan mengambil titipannya, rela. Mudah memang kalau sekedar berbicara, namun dalam prakteknya merupakan sesuatu yang sulit karena itu perlu niat dan latihan. Jika tidak mulai sekarang, mau kapan lagi, sebab hidup ini penuh kejutan.

[::: Sekali pun, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di hadapan kita walau hanya berjarak satu detik ke depan. Sekali pun, tidak akan pernah bisa kita merencanakan kapan akan tersenyum, kapan akan tertawa, kapan akan menangis, kapan akan gembira, kapan akan celaka, akan akan bahagia dan seterusnya. Maka bersiaplah, karena HIDUP INI PENUH KEJUTAN. :::]

Kesadaran ora mélu nduwé disandingkan dengan kesadaran Gusti Allah ora saré, insya Allah dapat mendamaikan hati sebagai sarana berlatih untuk sedikit demi sedikit meniadakan diri.

NAMUN, meski saya paksakan, kesadaran orba mélu nduwé tidak berhasil meredakan rasa kepemilikan saya, seperti misalanya saat di jalanan melintas mobil mewah [bahkan build-up] dengan plat nomor militer, rasanya kok saya meskipun tidak ikut punya namun merasa ikut memilikinya, he… he… he…

Hal lain lagi misalnya kalau lihat anggota bhayangkari negeri ini, rasanya ikut memiliki, tapi kok belum merasa aman ya dengan kehadiran mereka ? Apalgi kalau harus berhadapan dengan garda keamanan negeri ini, wuihlha mestinya mereka kan melindungi rakyat, lha kok kalau mereka punya permasalahan dengan warga sipil malah pendeketan kekerasan yang mereka lakukan ? Maunya menang dan benar.

Kalau kebetulan lewat di kantor petinggi pemerintahan di wilayah propinsi atau kota, sering sekali ada acara jamuan [anggarannya besar lho dalam setahun], meskipun tidak ikut makan kok ya saya ikut memiliki seluruh jamuan yang dihidangkan tersebut ???

Dan semacamnya, namun ada yang agak gawat saat tidak bisa menepis rasa ikut memiliki yang satu ini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kalau ingin cepat kaya, jadi politisi saja, bagaimana caranya bisa jadi petinggi parpol atau menjadi anggota dewan. Biasanya yang semula kehidupannya biasa-biasa saja pasti akan berubah menjadi luar biasa, tetapi menag tidak semua, hanya OKNUM yang sepeti itu, he… he… he… Nah ini masalahnya, setelah dia jadi politisi atau pun anggota dewan, lha kok diam-diam punya istri muda, dibelikan rumah lengkap dengan segala perabotnya termasuk kendaraannya. Diam-dian aku pun merasa memiliki dia…. hahahahahah ruepot urusannya.

Ya… maklumlah rakyat kecil ya begini ini, hanya bisa merasa memiliki tapi tak pernah merasakan, ya sudahlah… malah Alhamdulillah.


Yo wislah wong pancen ora mélu nduwé – ya sudahlah memang tidak ikut punya kok.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger