Home » »

Written By BAGUS herwindro on Apr 15, 2009 | April 15, 2009

Siapa sih ulama itu ? Apakah mereka yang menyandang predikat ulama sudah tentu benar ? Apalagi kalau sudah berkumpul dalam sebuah majelis. Ulama billah-kah mereka ? Atau bahkan sebaliknya, mereka malah menjadi tuhan baru dalam agama ini yang berhak menetukan salah benar secara mutlak, atau bias jadi mereka mengkapling tuhan hanyalah milik mereka sendiri, sehingga seakan-akan apa pun yang mereka katakan sudah jaminan bahwa Tuhan yang sejati juga mengiyakan.

Wis embuh, ora mudeng aku, wong aku mung wong bodho sing ora ngerti hukum agomo babar blas.

Yang jelas ada sebuah buku yang komprehensif dan sangat menarik untuk disantap, berkaitan dengan rokok yang menyajikan data apa adanya tan tendensi untuk saling menghakimi. Sebuah buku yang disusun oleh Muhammad Yunus BS, diterbitkan oleh Penerbit Kutub dan diberi judul Kitab Rokok.



Sebuah artikel yang menarik dari Syaikh Luqman, saya kutipkan dari http://news.okezone.com :

Wajah MUI dan Fatwa Rokok

Senin, 22 Desember 2008 - 09:27 wib

Dunia rokok, tiba-tiba mengepulkan kehangatan asap dan apinya, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam waktu dekat berencana mengeluarkan fatwa merokok, menyusul sebuah surat dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) 11 September 2008 yang ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang dukungan agar keluarnya fatwa MUI tentang rokok adalah haram, turut memicu pro dan kontra mengenai aktivitas konsumsi merokok akhir-akhir ini.

Jika fatwa MUI jadi diturunkan, dan indikasi ke arah fatwa preventif, seperti haram dan makruh, maka industri tembakau dari hulu (usaha tani) sampai hilir yang telah menyerap tenaga terlibat langsung sebanyak 6.100.000 orang (tanaman tembakau dan proses lapangan, cengkih, industri terkait sampai distribusi) akan kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian.
Padahal jika masing-masing menghidupi empat orang saja, ada 30.500.000 orang yang hidupnya bergantung pada industri tersebut. Tentu itu bisa memicu sebuah ledakan pengangguran yang cukup mengerikan di tengah-tengah krisis dewasa ini. Belum lagi pengaruh interaksi sosial, yang terbangun secara instrumental melalui adat istiadat merokok.

Bahwa tradisi merokok kemudian diatur melalui tata tertib dan aturan merokok, adalah bagian dari dinamika sosial itu sendiri. Namun, mematikan seluruh elemen industri rokok dari hulu hingga hilir bisa menimbulkan kekacauan sosial.

Maka itu, sejumlah ulama dan kiai di Jawa Timur bermusyawarah untuk menentukan hukum yang tegas mengenai rokok ini, bukan didasari alasan karena mayoritas para kiai juga perokok.Tetapi dalam Alquran maupun hadis Nabi, istilah rokok dan aktivitas merokok tidak pernah disebutkan melalui teks (nash) yang tegas (shorih). Persoalan haram dan halalnya rokok ini, ternyata tidak sederhana.

Data yang tersebar mengenai akibat negatif merokok dieksploitasi secara ekstrem. Ditambah, kampanye yang bombastis muncul dengan jargon-jargon berbau agama juga disebar, seperti: "Tak ada satu pun nabi yang merokok! Tuhan tidak suka bau rokok! Tembakau itu kawan setan. Bagaimana tidak diharamkan, setiaphari Anda mengisap api neraka (api di batang rokok)?".

Sebuah kampanye yang doktrinal tentu saja tidak mendidik dalam pencarian keseimbangan hidup antara kesehatan dan aktivitas ekonomi. Kenapa demikian? Karena informasi akurat tentang bahaya merokok dengan segala dampak yang ditimbulkannya, selama ini hanya mengacu pada hasil survei formal, tanpa pernah ada pembuktian nyata secara fisik atas tragedi negatif pada tubuh manusia akibat merokok.

Sejauh mana akurasi WHO dan Depkes dalam soal nikotin dan perilaku konsumsi manusia seluruh dunia, tidak bisa disimpulkan secara gradual begitu saja. Sebagaimana yang tertulis di setiap bungkus rokok: "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin," bukanlah sebuah aksioma yang eksak, primer, dan fundamental, melainkan lebih merupakan indikator-indikator yang instrumental belaka, yang tentu saja sangat kasuistik dan relatif. Publik hanya percaya begitu saja, karena mayoritas publik sangat awam terhadap dunia kesehatan, apalagi secara detail yang berhubungan dengan medis.

Fatwa MUI

KNPA barangkali tidak sendiri dalam menggalang masyarakat dalam antirokok. Dan keinginan MUI hendak mengeluarkan fatwanya, juga dilandasi protes dan usul masyarakat.
Namun, MUI haruslah sangat hati-hati, karena citra MUI dalam soal fatwa selalu menimbulkan pro-kontra selama ini, bukan saja karena cara pengambilan putusannya yang insidental, menunggu usulan dan protes, juga disebabkan citra MUI yang selama ini berbau politis sejak lembaga ini didirikan di era Orba.

Dalam sejarah keulamaan di bidang fatwa, justru tidak dijumpai sebuah lembaga mirip MUI yang harus berfatwa didasari atau menunggu protes dan usulan publik. Para ulama Islam senantiasa berfatwa, apakah secara kolektif maupun individual, atas masalah yang berkembang, apakah karena muncul melalui protes publik atau tidak.

Karena jika ada masalah yang seharusnya diharamkan, tetapi publik tidak protes, dan para ulama diam, berarti para ulama itulah yang turut menanggung dosa. Lebih berdosa lagi ketika para ulama mengharamkan, hanya didasari karena sudah diprotes masyarakat atas keharamannya, atau mengharamkan karena ia memang benci bau dan asap rokok, atau tidak merokok.

Memfatwakan konsumsi rokok harus dilihat secara total, simbiosis, dan ekologis, tentu juga ekonomis dan tidak kalah pentingnya hubungan sosial (silaturahmi) yang efektif di balik dunia rokok. Sebagaimana orang bicara tentang kesehatan, seluruh faktor yang menegakkan kesehatan manusia, regenerasi, eksistensi, dan resistensinya harus dimunculkan secara transparan.

Data di atas kertas sama sekali tidak menjamin sebuah database bagi pengambilan putusan istimbath dalam kasus rokok ini. Menurut para ulama fikih, proses pengeluaran fatwa haruslah didasarkan pada latar belakang masalah yang memerlukan penelitian lebih detail, dan menyelaraskan dengan teks Alquran dan Sunah, konsensus sahabat Nabi (ijma') serta analogi hukum (qiyas), tidak dengan metode-metode yang formal dan aksioma sebab akibat (?illatul hukmi) belaka.

Namun, harus melihat tujuan utama dari syariat (maqashidusy-syari'ah) yang lebih universal. Pertimbangan demikian juga tidak cukup, mesti melihat kasus-kasus khusus (khas) dan umum (aam) yang tersirat maupun tersirat dari sumber hukum utama fikih. Misalnya yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fikih yang sudah disepakati para ulama, seperti yang tercantum dalam lima prinsip kaidah.

Pertama, segala perkara tergantung tujuannya. Kedua, segala sesuatu secara prinsip diperbolehkan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Ketiga, adat istiadat itu menjadi hukum legal, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Keempat, tidak bahaya dan tidak membahayakan.

Kelima, maslahat umum (mashalihul mursalah). Walaupun fatwa MUI kelak tidak mengikat dan tidak bisa dijadikan sumber hukum bagi proses peradilan di negeri ini, umat sering menjadi bingung karena pro-kontra yang tidak kondusif, menyusul fatwa-fatwa MUI lainnya. Akan lebih transparan jika MUI, dalam semua fatwanya, memberikan pilihan-pilihan mendidik dengan mengeluarkan lima hukum atau bisa lebih, atas setiap kasus fikih.

Kalau dalam konteks rokok, misalnya dihukumi haram, jika dia merokok menyebabkan kematian dan penyakit yang mematikan. Dihukumi halal, bila merokok menjadi penyeimbang kesehatan dalam tubuh, mencerdaskan, mendukung relaksasi syaraf dan psikologi dengan kadar tertentu. Dihukumi makruh, manakala merokok dilakukan dengan dosis secara berlebihan.
Dihukumi sunat jika merokok bisa menetralisasi sejumlah penyakit dalam tubuhnya, atau menjadi akselerator tertentu bagi penyehatan.(Semisal untuk kepentingan medis, seperti obat yang mengandung racun untuk medis). Dan bahkan dihukumi wajib, manakala sebuah kewajiban tidak akan terpenuhi manakala tidak disertai merokok.

Dengan model transparansi fatwa seperti itu, publik lebih punya pilihan dan umat lebih terdidik. Saya tidak membayangkan, jika perokok yang rata-rata kiai akhirnya juga mengambil hukum sendiri, melawan fatwa MUI misalnya. Lalu ke mana wajah MUI? (*)

M Luqman Hakim MA
Seorang Kiai, Pemerhati Sosial Keagamaan, tinggal di Depok
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger